News & Updates

Sabtu, 15 Oktober 2016

Kamu, Mengkudu dan Takbiran Itu

Angin pagi mengusik daun mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.Ya, mengkudu yang selalu mengingatkanku padamu. Sampai sekarang tak habis aku berpikir,Ah, betapa romantisnya dirimu.Saat orang-orang memberi mawar indah untuk kekasih, kau malah memberiku bibit mengkudu. Pula kau paksa aku menanamnya di muka pintu.Payah !

“Agar kau selalu teringat aku. Lagipula buah mengkudu ini banyak manfaatnya..”ujarmu ketika itu. Antara kesal dan lucu, kutanam mengkudu itu.Alhasil ibuku menggerutu, karena sungguh tak eksotis mengkudu pemberianmu itu.

Kini, enam tahun sudah mengkudu itu tumbuh.Enam tahun pula hubungan kita, banyak fase yang terlewati. Terkadang lelah menghadapi kekerasan hatimu, kadang ingin menyerah melihat sifat tak acuhmu. Tapi, itu semua yang membuatmu berbeda.Enam tahun pula mengkudu itu telah menjadi tempatku mengadu saat aku kesal padamu.Tak banyak yang mau mendengar keluh kesahku tentangmu, ibuku bilang kamu itu lelaki berkepala batu. Adikku bilang, kamu itu tak bisa diharapkan.Vita, kakakku, bilang kamu itu seperti angin. Hanya bisa dirasa tapi tak bisa disentuh.Hanya mengkudu itu yang tak menilai buruk padamu.

Kalau saja kau tahu, aku lelah.Mencintaimu seperti mencintai hujan di bulan Januari, kadang-kadang lebat tak terkira namun kadang gerimispun antara ada dan tiada.Hubungan kita layaknya gelombang, suatu saat memuncak, lain waktu menghujam. Sudahlah, semua itu akan berlalu, lusa kau akan melamarku. Masa-masa bergelombang itu akan jadi kenangan. Kita akan menjadi satu menghadapi tiap gelombang kehidupan.

“Ira..!” suara ibu memecah lamunanku.
“Ada apa bu ?”
“Kemari dulu nak, ibu mau bicara” Tak biasanya ibu mengajakku berbincang sepagi ini.Matahari saja belum utuh di ufuk.

Ibu memilih duduk di ranjangku, kuhampiri ibu yang hari itu nampak begitu anggun dalam balutan kebaya berwarna jingga.Kain batik bermotif parang tuding menjadi pelengkap kebaya jingga itu. Ah entah mengapa sepagi ini ibu sudah rapih. Lama sekali ibu tak melihat ibu mengenakan itu, mungkin karena ini hari terakhir puasa.

                “Nduk, dirimu sudah mantap betul dengan Nak Ribas ?Hidup ini sekali saja nduk, salah kamu memilih jodoh, alang kepalang berat hidupmu nanti, nduk.”
                “Inggih bu, saya mantap”
                “Jawab dengan hatimu, nduk.Jangan dengan mulutmu” Suara ibu yang bergetar membuat lidahku keluh.
                “Ribas itu bukan lelaki biasa, ibu sudah sering katakan. Dia keras kepala, hidupnya pasti tak akan pernah mudah. Kamu siap, nduk ?
                “Inggih, bu”
                “Nduk, kamu tahu mengapa sepagi ini ibu memakai batik parang tuding ini.Motif ini bermakna cinta kasih, ketulusan dan biasa digunakan menggendong bayi.Hari ini hari terakhir ibu bisa menggendongmu, nduk. Esok lebaran, lusa kamu dilamar, tiga hari lagi kau akan menikah. Tugas ibu menggendongmu selesai, nduk” Airmata tipis meleleh dari wajah perempua yang cintanya padaku tak berbatas itu. Sebuah sapu tangan putih bergaris biru ia usapkan. Sapu tangan yang selalu ibu simpan, kenangan dari almarhum ayah.

                Aku tak bisa berkata-kata, hanya sanggup menatap jemari ibu.Menatap wajahnyapun aku tak sanggup lagi.Ada perasaan bersalah, harus segera meninggalkannya. Meski menikah tak berarti memilih antara suami dan ibu, tapi tetap saja perhatianku akan terbagi.

                “Nduk, kalau mantap, jalanilah.Jika tidak maka mundurlah.Mencintai itu tak selalu mudah, nduk.Kalau tak siap lebih baik menepi dahulu” Suara ibu seperti menusuk-nusuk kesadaranku paling dalam. Kemantapan hatiku seolah digoyah seribu satu tanya. Benarkah dia ? Diakah yang terbaik ? Sanggupkah aku mencintainya ? Benarkah dia mencintaiku ?Semua pertanyaan bergejolak.

                “Berpikirlah dengan hatimu dan mintalah petunjuk Gusti Allah, nduk. Masih ada waktu”
Ibu beranjak, meninggalkanku dalam seribu satu tanya.

***
                Dari jendela kamar kutatap batang mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.Sudah berulang kali mengkudu itu berbuah, kadang diminta oleh tetangga, kadang satu, dua membusuk di halaman rumah. Menatap mengkudu itu membuatku memantapkan hati, kaulah lelaki itu !

                Kutahu bersamamu kelak tak akan pernah mudah. Tapi bukankah begitulah hidup. Tak akan pernah benar-benar mudah. Mengapa aku harus takut.Aku hanya khawatir, jika kelak aku tak lagi menarik di matamu. Aku khawatir, kalau kalau nanti kau tak lagi bersemangat berdiskusi denganku. Ah, bukankah itulah resiko mencintai. Tak mau kupikir semua terlalu rumit.Biarlah mengalir saja, Seperti hidupmu yang selalu mengalir.

                Sungguh ajaib mengetahui akhirnya dirimu memilih untuk melamarku dan akan menikahiku. Enam tahun kita membahas ini, tak sekalipun kau nampak antusias membincangnya. Ada saja alasanmu.Hampir-hampir segala alasanmu itu kuhafal di luar kepala.Mulai dari belum waktunya sampai masih banyak impian yang belum kita raih.Selalu itu dalilmu.

                Tiba-tiba saja tiga hari sebelum ramadhan, kau tempelkan kertas di depan pintu kamar kosku. “Habis lebaran ini aku akan melamarmu, kita langsung nikah. Sederhana saja..” Hah, sungguh tak bisa kupahami cara pikirmu. Tak terduga, gila !Mencak-mencak kutelpon dirimu.Apa jawabmu “Kita bahas nanti ya, aku lagi di perjalanan mau ambil foto suku laut di Riau.” Kamu memang gila, pikirku. Entah mengapa, justru aku menikmati caramu mencintaiku. Kau terlalu apa adanya, hidupmu terlalu vulgar kurasa.

                Selalu ada warna dalam perjalananmu.Kau pilih jalan yang menikung, begitu kata teman-temanmu.Aku melihatmu sebagai manusia yang resah. Rasanya masa depanku akan dipenuhi ketidakpastian jika menikah denganmu. Tapi entah mengapa aku menyukai caramu memilih hidup.

                Semakin kumemikirkanmu semakin tahulah aku jawaban dari pertanyaan ibu tadi.Aku mantap dan yakin.Bismillah !
***

                Takbir mulai bergema di penjuru desa.Bersahutan dari mushollah ke mushollah.Malam lebaran selalu membawa suasana yang berbeda.Ada keriangan, ada syahdu dan ada harapan menjadi satu.Tak sabar rasanya bertemu denganmu.Seharusnya petang ini kau telah tiba. Telepon genggammu sama sekali tak bisa dihubungi, seperti biasa, kau tak terlalu peduli dengan telepon genggammu. Ah, paling dirimu sudah tak jauh lagi. Apalagi tahun ini kau memilih mudik dangan motor, pasti tak terlalu kena macet, pikirku.

                Satu lagi kegilaanmu, saat harga tiket pesawat tak lagi seberapa.Kau memilih naik motor.Katamu, ingin merasakan sensasi mudik bermotor. Dasar gila !Ya, tapi itulah dirimu, keras kepala.

***
                Suara takbir kian surut ditelan malam, sunyi mulai menyelimuti. Empat jam jelang subuh, tak ada tanda-tanda kau telah tiba di rumahmu. Sedari tadi aku sudah pesan ke adikmu untuk sms atau telpon aku kalau dirimu tiba.Tak kunjung ada berita.Hatiku mulai rapuh, jangan-jangan kau memutar balik kepala motormu karena takut melamarku.Seribu satu pikiran buruk berkecamuk.

                Kubuka jendela, kupandangi batang mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka. Kulirik baju kokoh yang kubelikan untukmu, warnanya senada dengan baju yang akan kupakai saat keluargamu datang melamarku. Sudah kusetrika rapih baju itu, bisa pula kau pakai untuk sholat ied esok.

                Dimana gerangan kau, kekasih ? Hatiku bertambah rapuh menatapi jam dinding yang bergerak begitu laju rasanya. Mungkin kau memang pengecut !

                Sebuah langkah cepat di halaman rumah menyentak rasa kantukku. Adikmu rupanya.Lega rasa hatiku. Pasti akan mengabari kedatanganmu, karena jaringan sibuk, pasti tak bisa kirim sms.

                “Mbak Ira, da…da datanglah ke rumah”
                “Dito, kamu kenapa ? Kenapa kamu pucat dan gugup begitu”
Belum sempat kuselesaikan pertanyaan, Dito sudah lari menghilang.

                Pikiranku mulai tak karuan, ada apa ini. Kupakai jilbab sekenanya dan kukejar Dito. Tepat di depan rumahmu sebuah ambulan melaju di hadapanku. Rebah rasanya tubuhku, keringat dingin menyembur dari tubuhku. Tak mampu lagi menapakkan kaki, belum sempat tubuhku terjatuh.Dito merangkulku.Dibimbingnya aku masuk ke rumahmu. Syukurlah kau tak mengapa.Kulihat kau tertidur di lantai rumah.Senyummu masih seperti biasa.Hanya orang-orang mengelilingimu, mungkin sudah rindu mereka padamu.Tiga tahun sudah kau tak berlebaran di kampung kita.Belum sempat kugenggam tanganmu sebagai ucapan rindu. Tiba-tiba ibu memeluk erat tubuhku dari belakang, ibu menangis, aku tak tahu apa yang terjadi. Mataku masih pasat menatap senyummu yang memang begitulah seharusnya dirimu.Tapi kau tampak begitu pucat, mengapa pula ada kapas di hidungmu.

                Ibuku masih menangis
                “Nduk..iling nduk…iling…sing sabaar nduk”

Pandanganku menjadi gelap dan tubuhku seperti melayang. Sekelabat rasanya kulihat kau memetik buah mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.




Sabtu, 11 Januari 2014

Undangan Menulis Cerita Pendek: “Lihat, Dengar, Rasa”

Mukadimah:
Asssalamu’alaikum, Wr.Wb. 
Rekan-rekan penulis yang baik dan damai hatinya. Dalam rangka ungkapan rasa syukur atas karunia Allah SWT yang telah mempercayakan kami sehingga dapat mendirikan “Efarasti Publishing”, maka bersama ini kami menyelenggarakan Undangan Menulis Cerita Pendek: “Lihat, Dengar, Rasa”. Pada kesempatan kali ini, kami tidak menentukan suatu tema yang diangkat atau dengan kata lain cerpen-nya bertemakan bebas. Dengan demikian rekan-rekan bisa bercerita tentang keluarga, kisah cinta, persahabatan, pekerjaan atau apapun. Akan tetapi rekan-rekan diharuskan untuk mengawali cerpen-nya dengan sebaris pertanyaan yang sesuai dengan cerita yang akan disajikan.
Adapun syarat dan ketentuannya dapat di simak di bawah ini.

Syarat dan Ketentuan:
1.      Warga Negara Indonesia (WNI) yang berdomisili di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2.      Naskah harus asli, orisinal karya sendiri, bukan hasil gotong-royong, bukan kutipan, saduran, plagiat, copy paste, terjemahan bebas atau hasil joki writer.
3.      Naskah bukan karya orang lain atau menjiplak baik sebagian maupun keseluruhan dari naskah yang telah ada dan belum pernah dipublikasikan sebelumnya, baik di media massa cetak maupun media elektronik yang beredar di dalam negeri, luar negeri bahkan di luar angkasa.
4.      Secara keseluruhan isi naskah (termasuk judul) menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar. Jika ingin menggunakan bahasa asing atau bahasa daerah harus ditulis miring (italic) dan diberi catatan kaki.
5.      Naskah tidak mengandung unsur SARA, pornografi, politik, diskriminasi, intimidasi, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atau hal-hal yang dapat mengakibatkan kerugian negara, instansi, kelompok tertentu atau perorangan.
6.      Naskah diketik rapi dengan ketentuan sebagai berikut;
a.       Kertas A4.
b.      Semua garis tepi (margin) 3 cm (atas, bawah, kiri dan kanan).
c.       Jenis huruf Times New Roman.
d.      Ukuran huruf 12 pt.
e.       Jarak spasi 1,5 pt.
f.        Minimal 5 halaman dan maksimal 7 halaman.
Atau bisa langsung rekan-rekan download format naskahnya di SINI.
7.      Di awal naskah sertakan sebaris pertanyaan sebagai tirai pembuka dari cerpen-nya.
8.      Di akhir naskah sertakan biodata narasi penulis maksimal 25 - 50 kata.
9.      Posting kembali info event ini (boleh tanpa poster) di Facebook atau Blog masing-masing (untuk catatan di Facebook, tag minimal 25 orang).
Syarat dan Ketentuan Lainnya:
1.      Untuk memudahkan komunikasi dan syarat utama dalam mengikuti event ini, setiap peserta harus “like” Fanspage Efarasti Publishing di SINI.
dan follow Blog Efarasti Publishing di SINI.
2.      Setiap peserta hanya boleh mengirimkan 1 (satu) naskah/ karya terbaiknya.
3.      Selama event ini berlangsung naskah yang masuk tidak dapat ditarik kembali dan tidak diperkenankan diikutsertakan pada event lainnya.
4.      File naskah yang sudah di-download diganti/ diberi nama sebagai berikut:
LDR#Nama Pena#Judul Cerpen
Contoh: LDR#Hilda Soraya#Cinta Jangan Bersunyi
5.      Kirimkan naskah Anda ke alamat E-mail:
undanganefarasti@yahoo.com
Naskah dikirim dalam bentuk lampiran (attachment), bukan di badan e-mail.
Hadiah untuk Para Kontributor:
1.      Seluruh kontributor mendapatkan elektronik Sertifikat Piagam Penghargaan (e-SPP) dan diskon di setiap pembelian buku event ini.
2.      Juara I berhak mendapatkan paket penerbitan di Efarasti Publishing dengan pilihan Paket Umum senilai Rp. 500.000,- (berlaku selama 6 bulan setelah pengumuman), dan 1 buah buku terbit event ini.
3.      Juara II berhak mendapatkan paket buku senilai Rp. 200.000,- dan 1 buah buku terbit event ini.
4.      Juara III berehak mendapatkan paket buku senilai Rp. 100.000,- dan 1 buah buku terbit event ini.
5.      25 naskah terbaik (termasuk naskah 3 juara dan 3 naskah penulis undangan) akan diterbitkan di Efarasti Publishing.
6.      Keputusan dewan juri bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat atau diintervensi oleh siapa pun.
Batas waktu pengiriman naskah (deadline):
Sabtu, 11 Januari 2014
(bertepatan dengan 7th Anniversary Pernikahan Ratu Elia Yuanita, S.Si)
Jam: 23:59 WIB
Catatan:
1.      Royalti yang diperoleh dari penjualan buku disalurkan untuk kemanusiaan.
2.      Kami akan segera memperbaiki info event undangan menulis ini jika ada kekeliruan redaksional atau hal-hal lainnya.
“Kami nantikan karya terbaik rekan-rekan.”
Wasssalamu’alaikum, Wr.Wb. 
===>>>
Miliki segera buku-buku terbitan Efarasti Publishing
1. Ci... Luk... Ba...!!! (Cinta... Luka... Banget...!!!)
2. Mustajab Cinta
3. Mama, Gelar Pahlawan Sepanjang Masa
4. Mengheningkan Cinta
Informasi selengkapnya, silakan kunjungi di SINI.
===>>>
Download info event lomba ini di SINI.

Rabu, 01 Januari 2014

Pada Suatu Ketika...

Kurapatkan tangan di telinga, kusembunyikan muka di balik bantal. Suara itu membuatku bergidik, seperti sedang mendengar pertanda perang.

Aku gemetar, tak sangggup mendengar. Pintu rumah membuka pelan, ada suara langkah.
“Ampuun, nih eneng, orang pada menyambut tahun yang berubah, eh dia malah gelagepan di kamar,”suara bibik memecah takutku.

“Gak mau, Bi, keluyuran. Lagian serem,” kujawab sekenanya “Serem ? napa emang ?”

 “Ya serem aja,” aku menyambar remote teve sebelum bibi menguasai.

 *** 
Sungai Batanghari memancarkan pantulan warna, suara menggelegar terdengar dimana-mana. Malam yang selalu penuh hiruk pikuk, pikirku. Langit masih berwarna, entah dua atau tiga jam lagi, waktu yang dinanti akan datang. Tak habis pikir, mengapa kita menunggu sesuatu yang begitu abstrak, waktu.

Ya, waktu. Apakah kita pernah diajak bersepakat tentang waktu, tentang jumlah menit dalam jam. Tidak kan ? kita hanya menerima begitu saja.

 “Woi, ngapain bengong ?” Suara keras Leroy mengusikku. Aku acuh.

“Mikirin Nadya ya ?” Belum puas ia mencoba menjahiliku.

 ‘“Kalo iya kenapa, kalo ngga kenapa,” kujawab ketus.

“Anjrit, ketus amiiir..” Leroy kesal dengan jawabanku

 “Makanya jangan LDRan,” sambung Leroy tanpa rasa bersalah. Hatiku memang sendang gundah.

“Yee, dia bengong lagi, udah ngaku aja kalau kangen, telpok kek, sms kek, kan beras,” Leroy mencoba menebak-nebak lamunanku.

“Kami sudah berjanji untuk gak kontak enam bulan,” Leroy bengong mendengar penjelasanku.

 “Gila emang kalian, udah LDR pake gituan lagi. Tinggal nunggu putusnya aja,” Leroy menggeleng-geleng kepala.

Cinta, ehm...cinta. Begitu sulit aku memahaminya. Aku tak yakin ada yang bisa menggantikan Alya, tidak juga Nadya. Ah, biarlah waktu yang menguji semua. Jalanan makin padat, mobil-mobil silang sengkarut di depan Pasar Angso Duo, kami memilih menepi di warung kopi.

 ***

 “Nadya, yakin gak mau ikutan keluar ?”

 “Ga Ma, males, lagian mau ujan. Nadya di rumah aja,” kujawab ajakan mama tanpa memalingkan tatapan dari layar kaca. Serial Bart Simpson ini mengingatkanku padamu, Damar.

Ah, kenapa juga kita pakai ide gak kontak-kontakan selama enam bulan ini. Kalau saja aku berani melawan rasa takutku, andai saja aku berani meniup terompet pemberianmu dulu, mungkin sekarang ktia sedang telpon-telponan dan berbagi rindu.

Ah, entah apa yang merasuki memoriku, sehingga tiap kali mendengar suara terompet aku merasa ngilu dan ketakutan. Alih-alih meniupnya. Aku tahu kau benci melihat aku jadi perempuan penakut, aku tahu kau tak suka melihat aku lemah. Tapi, kamu gak bisa memaksakan semua, ini kan butuh proses, Mar.

Ah, kamu memang lelaki keras kepala. Masak menguji cinta harus pakai gak komunikasi enam bulan.

 ***

“Woi, Damar, angkat tuh hapemu, sapa tahu Nadya,”

 “Mana mungkin ia berani niup terompet,”

 “Terompet ? apa urusannya ma terompet ?” Leroy bingung, meski bingung kopi tetap diseruput. Ehm, dasar...!

“Perjanjian enam bulan ini batal, kalau ia berani melawan rasa takutnya.”

Kulirik hape, bener ternyata Nadya.

“Halo....halo...Nadya...?”

 “Happy new year, Damar......teeeeeeeeeeeettttttttt teeeeeeeeeeeeet,” suara di ujung telepon memekakkan.

 “What ???”

 “Yup aku berani meniup terompet serem ini, untuk kamu,” suara Nadya nyaris tak terdengar tergusur letupan kembang api yang mewarnai langit Jambi. Ah, Nadya andai kamu ada disini...


Sumber inspirasi : www.dakwahwisata.com

Jumat, 12 April 2013

Penguncang Dadu di Halaman Masjid

Alang kepalang mahsyurnya sosok ini di dusun kami. Mulai dari anak kecil hingga yang berumur jelang seabad, dari santri hingga pencoleng mengenalnya. Kedermawannya menggetarkan, tak ia izinkan seorang warga kelaparan. Tiap akhir pekan ia membagikan beras dan delapan bungkus mi instan untuk warga yang kekurangan. Ojo didelok regone, sing penting aku ikhlas ngawehine, begitu tutur lembutnya kalau si penerima itu orang Jawa. Isinyo dak seberapo, mudah-mudahan bae biso beguno, itu tuturnya kalau yang menerima orang tempatan.

Tutur katanya begitu lembut dan teratur, tiap kalimat yang keluar dari mulutnya seolah sihir, begitu melenakan. Haji-haji kampung terkesima kala ia mewasiatkan sesuatu, gadis-gadis desa seolah terbang manakala ia melantunkan pujian, bahkan perempuan-perempuan bersuamipun bisa mabuk kepayang dibuatnya. Tak terbilang lagi perempuan yang pernah dan tengah menjadi istrinya, baik tercatat maupun sekedar lewat, kilat.

Tujuh patung, sebuah masjid dan dua gedung telah ia persemppahkan untuk dusun kamu. Ia dikenal mulai dari orang istana hingga pengemis papah. Tak lekang oleh waktu kisah tentang dia. Wanas, begitu namanya kami kenal. Tak pernah ada yang tahu nama lengkapnya, apalagi silsilah keluarganya. Ia seperti orang suci, terlahir begitu saja. Tanpa awalan dan tak tahu dimana akhiran. Sejarah dusun kami adalah sejarah Mas Wanas, tak terelakkan, tak terbantahkan.

Kentara sekali jika ia adalah Melayu tulen, bentuk wajahnya, matanya dan juga gaya biacaranya. Melayu seratus persen tapi ia lebih memilih dipanggil mas, tinimbang bang atau kak, atau sematan lain beraroma melayu. Mas Wanas, begitulah ia selalu disapa.
***
Dusun kami sejatinya adalah dusun Melayu tulen, rumah-rumah hampir semua bertiang tinggi tak kurang dari sedepa, berladang dan berkebun adalah mata pencaharian utama, warung kopi berjajar di sisi jalan. Namun 1970, seratus tiga puluh keluarga datang ke dusun kami atas nama pemerataan penduduk dan pemerataan kesempatan. Saling silang pertentangan terjadi sejak itu, sejak aku ingat saja, sudah paling tidak ada dua belas kali konflik berdarah terjadi. Melayu melawan Jawa.

Nyaris tak ada gadis Melayu yang keluarganya rela ia dipersunting orang Jawa, aib keluarga, kata mereka. Mulanya Orang Jawa hanya mendiami sisi hulu dusun, tapi seiring waktu jumlah mereka bertambah, kesuksesan berusaha juga mengiringi mereka dan rumah mereka terus bergerak ke tengah dusun. Tiap ada orang melayu yang kesusahan dan terpaksa menjual tanah, bisa dipastikan orang Jawa berani menawar tinggi.

Melayu pemalas, begitu orang Jawa menggelari warga tempatan yang biasa menghabiskan hampir separuh waktunya di warung kopi, berkelakar dan bersilat lidah hobi mereka. Pekang dan tak terurus, begitu sebaliknya orang Melayu menggelari Orang Jawa, yang berhari-hari kerjanya mencangkul atau mengarit, hingga tak sempat memerhatikan penampilan. Jangankan ikut bergaul di warung kopi, untuk sekedar nonton teve pun mereka seperti tak ada waktu. Kebencian telah menjadi sesuatu yang turun temurun. Mewaris dari satu generasi ke generasi berikut.

Sampailah suatu ketika di petang tak berangin dan saat burung-burung gereja berbondong-bondong kembali ke sarang. Tiba-tiba dusun kami menjadi bersatu padu, warung-warung kopi dipenuhi Orang Melayu dan Jawa, pasar dusun tiba-tiba bergemuruh oleh percakapan antara ibu-ibu Melayu dan Jawa. Hanya satu yang menyatukan mereka, penguncang dadu di halaman masjid.

Semua bersepakat bahwa si penguncang dadu harus diusir, tak ada kompromi. Ia telah mencoleng martabat dusun. Ini kali pertama akhirnya dusun kami tak lagi mengenal latar kesukuan, Jawa, Melayu, tiba-tiba menjadi lebur dalam satu kepentingan. Mengusir penguncang dadu di halaman masjid. 

Tentu ini bukan perkara sulit, apalagi si penguncang dadu bukanlah penduduk dusun kami. Hanya saja yang tak habis pikir, si penguncang dadu itu selalu ikut sholat berjamaah di masjid. Maghrib dan Isya hampir pasti ia ada di masjid. Ia membuka lapak dadunya dari jam tujuh malam hingga jam satu atau dua tengah malam. Seminggu ia membuka lapak, pengunjungnya tak sedikit, seratus mungkin lebih. Penolakan melangit tapi peserta kuncang dadu pun makin tak sedikit. Ditambah si penguncang dadu juga telah mewakafkan seratus juta lebih untuk pengembangan bangunan masjid di dusun kami.

Sejak saat itulah dusun terbelah, antara yang menganggap penguncang dadu adalah berkah dan yang menganggap penguncang dadu adalah musibah. Persekutuan di dusun berubah bukan lagi Melayu atau Jawa, tapi pendukung dan penolak penguncang dadu di halaman masjid. Mas Wanas, itulah nama si penguncang dadu, sejak saat itu namanya meroket. Dibenci sekaligus dipuji, dicaci tapi juga disembah. Masjid menjadi makmur, uang jutaan mengalir tiap pekan ke rumah tuhan. Dusun menjadi semarak, warung-warung tiba-tiba melonjak omsetnya. Bisnis kaki lima pun tumbuh subur. Mas Wanas telah merubah wajah dusun kami. Orang-orang dari tempat-tempat nan jauh berdatangan. Polisi dari kecamatan bahkan dari propinsi juga lalu lalang, bukan untuk menciduk Was Wanas, sang juragan, tetapi mengincar uang setoran. Tak sedikit jumlahnya, dua juta semalam. Jumlah yang tak seberapa, jika dibanding omset Mas Wenas yang puluhan juta. 

Rumah-rumah disulap jadi wisma, menampung para pejudi yang datang dari berbagai dusun. Jarang sekali kamar-kamar kosong, apalagi di akhir pekan. Pelan tapi pasti dusun kami menjadi bergairah, begitu hidup dan penuh keceriaan. Satu persatu penentang penguncang dadu di halaman masjid berubah haluan. Menjadi pendukung Mas Wanas yang dermawan.

Atas nama kemajuan dusun, Mas Wanas telah menjadi idola. Patungnya telah didirikan di ujung jalan dusun. Karena besarnya sumbangan yang dikeluarkan Mas Wenas untuk masjid, warga lebih mengenal masjid itu dengan nama Masjid Mas Wanas. Halaman masjid yang biasanya sepi, paling-paling diisi satu dua sepeda, kini telah benar-benar berubah, ramai, berwarna dan penuh hiruk pikuk. Warung-warung, tempat pijat, penitipan motor, bahkan ada penjual kaos khas dusun kami. Ekonomi dusun bergerak, tak melulu tentang kebun karet lagi.

Hanya satu orang saja yang masih dengan kokoh dan tiada henti melawan kehadiran lapak-lapak dadu di halaman masjid, Mang Karni, ya Mang Karni namanya. Tak henti ia mengingatkan siapa saja akan bahaya yang mengancam dusun. Ia telah menjadi semacam pengkhotbah anti Mas Wanas. Tapi apa daya tak satupun lagi warga dusun yang memedulikannya. Kemajuan dan kebaikan yang dibawa Mas Wanas dan lapak dadu di halaman masjid telah membubungkan harapan warga. Mang Karni pun ditinggal warga, hanya dianggap lelaki tua yang nyaris gila.
***
Bodoh sekali, sepuluh juta kau tolak, sepuluh juta,” teriak Bik Warsi, istri Mang Karni suatu petang. Mang Karni tak bergeming, matanya tetap pasat menatap buku yang ia pegang. Bik Warsi geram.

Kau tahu pak, getah karet tak ada harga lagi, uang sebanyak itu malah kau tolak,” tak berkurang geram Bik Warsi. Mang Karni masih sibuk dengan buku yang ia baca, ada semacam ketenangan yang luar biasa di wajah tua Mang Karni. Sementara itu angin berhembus menyentak pintu kayu rumah panggung Mang Karni. Berdiri Mang Karni membenarkan posisi pengganjal pintu. Ia hanya melirik Bik Warsi yang tengah khusyuk dengan sirih dan pinang di tangan.

Kalau aku bicara, manalah kau peduli. Ingat pak, sudah tiga lebaran tak ada satupun tetangga yang bertandang ke rumah kita. Apa bapak ngga malu ? Sedusun ini membenci bapak,” suara Bik Warsi seolah menderu diterjang suara angin yang bergemuruh. Mang Karni membenarkan posisi duduknya, tapi mulutnya masih mengatup rapat. Hanya matanya yang tajam memasati buku.

Bukan sekali dua pesuruh Mas Wanas berusaha mengantar uang yang tak sedikit ke Mang karni, tapi tak sekalipun uang itu ia terima. Berbagai cara digunakan Mas Wanas, tapi Mang Karni tetap menolaknya. Mulai dari angka sejuta hingga sepuluh juta pernah dikirim ke rumah tua Mang Karni yang hidup bersama istrinya.
Karena terlalu kesal pesuruh Mas Wanas pernah pula mengancam akan membunuh Mang Karni, ia hanya menjawab singkat “Bunuhlah…”
 
Rayuan dan ancaman telah menjadi semacam menu rutin bagi Mang Karni lima tahun terakhir. Kebencian warga dusun pun makin menjadi, bukan sekali dua  rumah Mang karni hampir dibakar warga. Kepala desa, pak RT, kyai dusun bahkan Pak Camat pernah menasehati Mang Karni untuk menerima kenyataan bahwa dusun sudah berubah dan Mas Wanaslah yang memajukan dusun, pantas kalau didukung. Mang Karni selalu menjawab “Ada masanya kita semua akan melihat kehancuran dusun ini,” selalu itu kalimat yang diulang Mang Karni tiap petinggi dan orang penting datang ke rumahnya yang berdiri menghadap sungai Batanghari dan membelakangi jalan dusun. Rumah yang ganjil, karena semua rumah menghadap ke jalan.
Sungai adalah masa lalu, jalan besar beraspal adalah hari ini, begitu kata orang-orang dusun ketika mengubah muka rumah mereka yang dulu menghadap ke batanghari. Tidak bagi Mang Karni, tak terbersit dalam pikirannya membalik muka rumah. 

Aku bisa jadi satu-satunya orang dusun yang masih berbincang dengan Mang Karni, seusai menamatkan sekolah menengah di kota, aku pulang ke dusun. Bisa jadi akulah manusia terakhir di dusun ini yang masih mendengarkan khotbah Mang Karni tentang bahaya lapak dadu di halaman masjid. Kami sesekali bertemu sembari memasang serua di anak-anak sungai Batanghari atau mancing bersama.

Muslan, apa kau pernah berpikir, lapak dadu di halaman masjid dusun kita itu sama artinya kita mengencingi rumah tuhan,” suara lembut Mang Karni membuyarkan konsentrasi memancingku. Kami berdua dalam sebuah perahu di sebuah petang yang tenang. Ikan baung yang kami incar.

Tapi herannya kita semua dibutakan oleh uang yang diserak-serakkan oleh si Wanas itu. Hitam menjadi putih, gelap menjadi terang,” kalimat berikut dari Mang karni meluncur, seolah tak lagi menunggu reaksiku. Kulempar pancing agak ke tengah, aku hanya menganggukkan kepala tanda persetujuan pada kalimat Mang karni.

Kau lihat mana ada lagi anak-anak muda mau mencari ikan, kebun-kebun karet dijual untuk modal berjudi, perempuan-perempuan sudah lupa diri karena sibuk menemani laki-laki di halaman masjid,” kalimat-kalimat Mang Karni itu sebenarnya sudah berulang kali aku dengar. Tapi aku tak berniat mematahkannya, kubiarkan ia bicara. Meski aku tak terlalu fokus mendengarkan Mang Karni. Ikan yang menarik-narik pancingku jauh lebih kupedulikan dari kalimat Mang Karni.

Terus kita harus bagaimana, mang ?” responku sekenanya.
Ah, seharusnya kau yang muda Muslan, yang memikirkan caranya. Aku ini sudah tua, entah esok atau bulan depan aku sudah tiada,” kalimat itu mengejutkanku. Aku seolah diingatkan Mang Karni memang sudah tak muda, rambutnya sudah memutih, kerutan dan lekuk dalam di sekitar matanya menandakan panjang sudah perjalanan hidupnya. Apa yang terjadi jika ia benar-benar pergi, tak akan ada lagi yang melawan tirani Mas Wanas dan lapak-lapak dadunya. Entah mengapa tiba-tiba aku menjadi gelisah.

Sebuah tarikan keras menyentak senar pancingku, aku terkejut, kutarik keras pancingku. Sebuah ikan baung muncul di permukaan. Tak terlalu besar tapi cukuplah untuk menghibur kami berdua yang sudah dua jam berada di dalam perahu dan tanpa hasil.
***
Tujuh hari dari peristiwa mancing bersama Mang Karni, pikiranku masih bergoyang oleh kalimat Mang Karni tempo itu. Aku seperti tersentak menyadari bahwa ada saatnya Mang Karni akan menyerah dan berhenti melawan si penguncang dadu. Menyerah bukan oleh rayuan atau ancaman Mas Wanas tapi oleh maut. Apa jadinya dusun ini tanpa orang seperti Mang Karni, yang meski dibenci tapi tak berhenti melawan, meski dicaci ia tak lantas menyerah pada kenyataan. 

Daun-daun pohon rambutan yang rapuh lepas satu persatu dari ranting, angin mengusili ilalang yang tumbuh di tepian jalan. Pikiranku masih tertuju pada Mang Karni, antara prihatin dan bangga pada sosoknya. Tiba-tiba terbersit kehendak hati menemani perjuangan Mang Karni, membukakan mata hati penguni dusun bahwa selama ini telah salah. 

Wanas hanyalah srigala berbulu domba, setan yang menyamar menjadi nabi, dan pendurhaka yang bermanis wajah. Tapi bagaimana ? Wanas telah menjadi legenda bahkan dianggap orang suci yang harus dibela. Ia sholat berjamaah tiap waktu di masjid, uang infaqnya tak terbilang mengalir ke masjid dan para fakir. Setiap ornag kesusahan pasti ia bantu. Meski selalu berujung terjualnya kebun warga kepadanya. Entah berapa ribu hektar sudah kebun karetnya. 

Bagaimana bisa aku melawannya, sedangkan untuk makan sehari-hari saja aku susah. Gaji sebagai guru bantu hanya cukup untuk untuk membeli susu anakku. Terlintas untuk berangkat ke kota dan melaporkan ini pada aparat negara disana. Tapi bagaimana bisa, tiap malam saja banyak pejabat yang hilir mudik di halaman masjid. Bukan untuk sholat berjamaah tapi menanti mata dadu dikuncang. Belum lagi polisi yang rutin dengan setoran. Ah, tak akan ada gunanya. Rubuh satu rubuh semua, mana mungkin mereka mau melakukan itu.
Kutelisik catatan-catatanku saat di kota dulu, berusaha mencari solusi dari lembar-lembar kertas tua yang mulai rapuh itu. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku. Gairah untuk melawan tiba-tiba muncul, seperti hujan yang mendera kemarau panjang, hatiku tiba-tiba mekar dan meyakini ada sebuah sinar di tengah gelapnya malam.

Langsung kuambil sepeda tuaku dan kugegas, rumah Mang Karni, ya dia orang pertama yang harus tahu rencanaku ini, pikirku. Jalanan mulus dusun kami yang dibangun dengan sumbangan dari Mas Wanas membuat laju sepedaku makin cepat. Jarak dua kilo dari rumahku ke rumah Mang Karni menjadi tak jauh rasanya. Gairahku membuncah. Pasti Mang Karni akan bahagia mendengar rencanaku ini, pikirku.
Matahari mulai rebah di cakrawala, sandekala. Cahaya langit berpendar, merah kekuningan warnanya. Pikiranku mengangkasa, inilah saatnya mengakhiri kejayaan mata dadu di dusun kami. 

Rumah Mang Karni yang membelakangi jalan desa dan menghadap ke Batanghari mulai nampak, kusandarkan sepeda di anak tangga rumah panggung yang mulai rapuh dimakan waktu. Tak nampak Mang Karni dan istrinya yang biasa duduk di teras depan rumah yang menghadap ke Batanghari, dua pasang sandal nampak di depan pintu. 

Pintu rumah terbuka lebar, tiga orang duduk bersila di tengah rumah. Aku mengenal wajah ketiga orang itu, Bik Warsi istri Mang Karni, Pak ustadz dan Pak Ledi, guru sekolah temanku. Terpukul mundur rasanya, tatkala kulihat sesosok tubuh yang terbaring di hadapan mereka bertiga. Sebuah kain panjang bermotif bunga-bunga berwarna jingga menutupi tubuh itu. Aku tahu siapa dibalik kain panjang itu. Kubalikkan badan, persis saat Bik Warsi memanggil namaku. 

Kugapai sepedaku dan kupacu laju di jalan dusun. Pikiranku bergemuruh, air mataku pun luruh. Aku terlambat pikirku, kemana saja aku selama ini. Di hadapan sebuah rumah megah dengan pilar-pilar besar aku berhenti, segerombolan orang yang ada di depan rumah itu menatapiku pasat. Mas Wanas tampak diantara mereka, suara musik yang membahana keluar dari speaker besar yang dipasang di bawah  pohon jambu. Sebuah pesta baru saja dimulai di rumah pahlawan desa itu.






















Ilustrasi by : Huzer Apriansyah

Sabtu, 16 Februari 2013

Lelaki Berkepala Karang

doc @huzer


Kau masih sama saja, bersemangat, liar dan manja. Tak banyak yang berubah, kata-katamu masih terhunus dan selalu ketus. Sepuluh tahun lalu kau berteriak tentang negeri yang timpang, dunia yang bimbang dan rakyat yang meradang. Hari ini, usai perjalanan nan panjang ini, kau masih dengan suara sumbang bergelombang. 

Bukan aku tak peduli pada perjuanganmu, tapi aku ini gadis yang menunggumu. Bukan dua tiga tahun, tapi sepuluh tahun sudah. Aku ini bukan meja kayu nan rapuh di kamarmu, yang setia menanti dan menemani. Apa kata orang-orang di kampungku, perawan tua lah aku ini. Ah, kalau kalimat ini kumuculkan. Kupastikan tujuh kalimat sakti mu akan keluar;

“Perempuan itu punya kuasa atas tubuhnya. Konstruksi cultural dan sosial yang patriarkislah yang membuat ada istilah perawan tua. Jangan pula kau tunduk pada sterotype yang tiran itu. Konstruksi berpikir kita harus diubah, jangan menyerah pada penindasan macam itu.Perempuan itu punya tahta atas hidupnya. Bukan digoyang-goyang dengan segala macam mitos. Tunggulah waktunya..” Sampai kuhafal di luar kepala tujuh kalimat ampuh itu.

Gagah sungguh kau di garda depan demonstrasi, tapi coba soal pertunangan, kau membujur basi. Ingin rasanya aku berpura-pura hamil, agar kau mau mengambil sebuah langkah berani.Tapi, jujur aku orawani. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang singkat, kekasihku.Terbersit lelah hati, kadang ingin berhenti aku mencintaimu.Tapi, entah mengapa tiap kali menatap wajah tirusmu yang tak terurus, niat ku langsung menguap tiada sebab. Kau terlalu lugu, kekasihku. Atau kau terlalu naïf. Atau mungkin kau terlalu jujur, kekasihku.

Apakah kau tak melihat kawan-kawan lamamu itu. Mereka muncul di layar-layar teve, tak sedikit yang berumah mewah dan terpandang pula. Mereka ada di Senayan, mereka ada bersama kekuasaan. Hidup mereka berubah, sayangku. Sedang kau ? Tak banyak yang berubah. Kadang aku menangis melihatmu masih setia dengan motor bututmu yang bisa ngadat dimana tempat. Hatikupilu, saat tempatmu bekerja hanya mampu memberimu seratus dua tiap bulannya. Aku tahu bukan kau tak berusaha, tapi kau tak pernah mau mengalah. Mungkin saja kalau kau bertahan lama di lembaga asing itu, kini kau sudah punya mobil mewah. Tapi, kau justru memilih jadi pedagang roti. Pegal hatiaku menemanimu. Apa sih maumu ?

Kadang aku membencimu, tapi di saat yang sama aku semakin mencintaimu. Kau bukan sosok yang romantic tapi hadirmu serasa sangat puitis. Kau bukan pujangga tapi senyummu membuat ku terjaga. Sepanjang umurku, baru pada mu saja kulihat orang berkepalak arang. Hidupmu tak pernah tenang, bahkan kau meracau dalam tidur. Mengapa kau pilih jalan ini, sayangku ? Bukankah bisa kita buat sederhana saja. Menikah, punya keluarga dan hidup nyaman di rumah mungil kita ? Kau bilang, itu terlalu biasa. Semua orang juga begitu. Jangan-jangan kau hanya lelaki egois yang bengis ?Takut menghadapi realitas, lalu sekedar berputar-putar tanpa batas. Pernahku sebut kau pengecut. Muka mu memerah dan kau menangis. Serasa kau sudutkan aku dengan tangis mu itu, tak pernah lagi kuulang kata-kata jalang itu.

Di awal kisah kita dulu, aku yakin suatu saaat kau akan berubah. Layaknya orang-orang kebanyakan, pelan tapi pasti idealism mu akan menepi seiring waktu. Mimpi-mimpi mu akan terserak pelan seiring kebutuhan. Tenanglah aku ketika itu.Tapi apa lacur, kau tak berubah juga. Sama, benar-benar sama. Kepala karang bisalah kubilang. Entah mengapa, aku tak bisa berhenti memujamu walau kepala mu karang. Tak bisa pula berhenti mengkhawatirkan mu walau keras hatimu. Kukira kau ini hanya keracunan virus Ahmad Wahib atau Gie itu saja. Mahluk yang paling bahagia adalah yang tak pernah dilahirkan kedunia, selanjutnya mereka yang dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah mereka yang mati tua.

Kupikir kau itu pemimpi yang romantic bukan kekasih yang romantis jadilah kau tak lagi realistis. Kau selalu bicara soal teori kritis si Habermas itu, tapi kau lupa banyak pengikut Habermas yang yang terjebak menjadi nihilis. Apa kau mau seperti mereka ? Kau bilang all of human kind is a traveller. Apakah kau mau menjadi pengembara seumur hidupmu, tanpa pernah berlabuh di teduhnya dermaga ?
***
Kekasihku, kini aku hanya bisa berdoa semoga kau baik-baik saja. Semoga akan selalu ada yang merawatmu. Maafkanaku yang harus takluk di tangan tirani patriarki, maafkan aku yang tak berani menantang zaman  sepertimu.Maafkan aku yang menyerah untuk bersamamu. Esok, pernikahanku kuharap kau tak hadir. Bukan apa-apa, tapi aku tak akan pernah mampu menatap wajah tirusmu yang tak terurus itu. Matamu terlalu tajam untuk hatiku yang rapuh ini. Syair “Hatiku Selembar Daun” yang kau jadikan mantra penjinak hatiku dulu, akan tetap menjadi mantra hatiku jika aku rindu.

Teruslah berlayar…oh captain my captain !

* “Hatiku selembar daun” puisi karya Sapardi Djoko Damono

Proudly Support by :