Angin pagi mengusik daun
mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.Ya, mengkudu yang selalu
mengingatkanku padamu. Sampai sekarang tak habis aku berpikir,Ah, betapa romantisnya
dirimu.Saat orang-orang memberi mawar indah untuk kekasih, kau malah memberiku
bibit mengkudu. Pula kau paksa aku menanamnya di muka pintu.Payah !
“Agar kau selalu teringat
aku. Lagipula buah mengkudu ini banyak manfaatnya..”ujarmu ketika itu. Antara kesal dan lucu, kutanam mengkudu
itu.Alhasil ibuku menggerutu, karena sungguh tak eksotis mengkudu pemberianmu
itu.
Kini, enam tahun sudah mengkudu itu tumbuh.Enam tahun pula hubungan
kita, banyak fase yang terlewati. Terkadang lelah menghadapi kekerasan hatimu,
kadang ingin menyerah melihat sifat tak acuhmu. Tapi, itu semua yang membuatmu
berbeda.Enam tahun pula mengkudu itu telah menjadi tempatku mengadu saat aku
kesal padamu.Tak banyak yang mau mendengar keluh kesahku tentangmu, ibuku
bilang kamu itu lelaki berkepala batu. Adikku bilang, kamu itu tak bisa
diharapkan.Vita, kakakku, bilang kamu itu seperti angin. Hanya bisa dirasa tapi
tak bisa disentuh.Hanya mengkudu itu yang tak menilai buruk padamu.
Kalau saja kau tahu, aku lelah.Mencintaimu seperti mencintai hujan
di bulan Januari, kadang-kadang lebat tak terkira namun kadang gerimispun
antara ada dan tiada.Hubungan kita layaknya gelombang, suatu saat memuncak,
lain waktu menghujam. Sudahlah, semua itu akan berlalu, lusa kau akan
melamarku. Masa-masa bergelombang itu akan jadi kenangan. Kita akan menjadi
satu menghadapi tiap gelombang kehidupan.
“Ira..!” suara ibu memecah lamunanku.
“Ada apa bu ?”
“Kemari dulu nak, ibu mau bicara” Tak biasanya ibu mengajakku
berbincang sepagi ini.Matahari saja belum utuh di ufuk.
Ibu
memilih duduk di ranjangku, kuhampiri ibu yang hari itu nampak begitu anggun
dalam balutan kebaya berwarna jingga.Kain batik bermotif parang tuding menjadi pelengkap kebaya jingga itu. Ah entah mengapa
sepagi ini ibu sudah rapih. Lama sekali ibu tak melihat ibu mengenakan itu,
mungkin karena ini hari terakhir puasa.
“Nduk, dirimu sudah mantap betul dengan Nak Ribas ?Hidup ini sekali
saja nduk, salah kamu memilih jodoh,
alang kepalang berat hidupmu nanti, nduk.”
“Inggih bu, saya mantap”
“Jawab dengan hatimu, nduk.Jangan dengan mulutmu” Suara ibu
yang bergetar membuat lidahku keluh.
“Ribas itu bukan lelaki biasa,
ibu sudah sering katakan. Dia keras kepala, hidupnya pasti tak akan pernah
mudah. Kamu siap, nduk ?
“Inggih, bu”
“Nduk, kamu tahu mengapa sepagi ini ibu memakai batik parang tuding ini.Motif ini bermakna
cinta kasih, ketulusan dan biasa digunakan menggendong bayi.Hari ini hari
terakhir ibu bisa menggendongmu, nduk.
Esok lebaran, lusa kamu dilamar, tiga hari lagi kau akan menikah. Tugas ibu
menggendongmu selesai, nduk” Airmata tipis meleleh dari wajah perempua yang
cintanya padaku tak berbatas itu. Sebuah sapu tangan putih bergaris biru ia
usapkan. Sapu tangan yang selalu ibu simpan, kenangan dari almarhum ayah.
Aku tak bisa berkata-kata, hanya
sanggup menatap jemari ibu.Menatap wajahnyapun aku tak sanggup lagi.Ada
perasaan bersalah, harus segera meninggalkannya. Meski menikah tak berarti
memilih antara suami dan ibu, tapi tetap saja perhatianku akan terbagi.
“Nduk, kalau mantap, jalanilah.Jika tidak maka mundurlah.Mencintai
itu tak selalu mudah, nduk.Kalau tak siap lebih baik menepi dahulu” Suara ibu
seperti menusuk-nusuk kesadaranku paling dalam. Kemantapan hatiku seolah
digoyah seribu satu tanya. Benarkah dia ? Diakah yang terbaik ? Sanggupkah aku
mencintainya ? Benarkah dia mencintaiku ?Semua pertanyaan bergejolak.
“Berpikirlah dengan hatimu dan
mintalah petunjuk Gusti Allah, nduk.
Masih ada waktu”
Ibu
beranjak, meninggalkanku dalam seribu satu tanya.
***
Dari jendela
kamar kutatap batang mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.Sudah
berulang kali mengkudu itu berbuah, kadang diminta oleh tetangga, kadang satu,
dua membusuk di halaman rumah. Menatap mengkudu itu membuatku memantapkan hati,
kaulah lelaki itu !
Kutahu
bersamamu kelak tak akan pernah mudah. Tapi bukankah begitulah hidup. Tak akan
pernah benar-benar mudah. Mengapa aku harus takut.Aku hanya khawatir, jika
kelak aku tak lagi menarik di matamu. Aku khawatir, kalau kalau nanti kau tak
lagi bersemangat berdiskusi denganku. Ah, bukankah itulah resiko mencintai. Tak
mau kupikir semua terlalu rumit.Biarlah mengalir saja, Seperti hidupmu yang
selalu mengalir.
Sungguh ajaib
mengetahui akhirnya dirimu memilih untuk melamarku dan akan menikahiku. Enam
tahun kita membahas ini, tak sekalipun kau nampak antusias membincangnya. Ada
saja alasanmu.Hampir-hampir segala alasanmu itu kuhafal di luar kepala.Mulai
dari belum waktunya sampai masih banyak impian yang belum kita raih.Selalu itu
dalilmu.
Tiba-tiba saja
tiga hari sebelum ramadhan, kau tempelkan kertas di depan pintu kamar kosku. “Habis lebaran ini aku akan melamarmu, kita
langsung nikah. Sederhana saja..” Hah, sungguh tak bisa kupahami cara
pikirmu. Tak terduga, gila !Mencak-mencak kutelpon dirimu.Apa jawabmu “Kita
bahas nanti ya, aku lagi di perjalanan mau ambil foto suku laut di Riau.” Kamu memang
gila, pikirku. Entah mengapa, justru aku menikmati caramu mencintaiku. Kau
terlalu apa adanya, hidupmu terlalu vulgar kurasa.
Selalu ada
warna dalam perjalananmu.Kau pilih jalan yang menikung, begitu kata
teman-temanmu.Aku melihatmu sebagai manusia yang resah. Rasanya masa depanku
akan dipenuhi ketidakpastian jika menikah denganmu. Tapi entah mengapa aku
menyukai caramu memilih hidup.
Semakin
kumemikirkanmu semakin tahulah aku jawaban dari pertanyaan ibu tadi.Aku mantap
dan yakin.Bismillah !
***
Takbir mulai
bergema di penjuru desa.Bersahutan dari mushollah ke mushollah.Malam lebaran
selalu membawa suasana yang berbeda.Ada keriangan, ada syahdu dan ada harapan
menjadi satu.Tak sabar rasanya bertemu denganmu.Seharusnya petang ini kau telah
tiba. Telepon genggammu sama sekali tak bisa dihubungi, seperti biasa, kau tak
terlalu peduli dengan telepon genggammu. Ah, paling dirimu sudah tak jauh lagi.
Apalagi tahun ini kau memilih mudik dangan motor, pasti tak terlalu kena macet,
pikirku.
Satu lagi kegilaanmu,
saat harga tiket pesawat tak lagi seberapa.Kau memilih naik motor.Katamu, ingin
merasakan sensasi mudik bermotor. Dasar gila !Ya, tapi itulah dirimu, keras
kepala.
***
Suara takbir
kian surut ditelan malam, sunyi mulai menyelimuti. Empat jam jelang subuh, tak
ada tanda-tanda kau telah tiba di rumahmu. Sedari tadi aku sudah pesan ke
adikmu untuk sms atau telpon aku kalau dirimu tiba.Tak kunjung ada
berita.Hatiku mulai rapuh, jangan-jangan kau memutar balik kepala motormu karena
takut melamarku.Seribu satu pikiran buruk berkecamuk.
Kubuka jendela,
kupandangi batang mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka. Kulirik baju kokoh
yang kubelikan untukmu, warnanya senada dengan baju yang akan kupakai saat
keluargamu datang melamarku. Sudah kusetrika rapih baju itu, bisa pula kau
pakai untuk sholat ied esok.
Dimana gerangan
kau, kekasih ? Hatiku bertambah rapuh menatapi jam dinding yang bergerak begitu
laju rasanya. Mungkin kau memang pengecut !
Sebuah langkah
cepat di halaman rumah menyentak rasa kantukku. Adikmu rupanya.Lega rasa hatiku.
Pasti akan mengabari kedatanganmu, karena jaringan sibuk, pasti tak bisa kirim
sms.
“Mbak Ira,
da…da datanglah ke rumah”
“Dito, kamu
kenapa ? Kenapa kamu pucat dan gugup begitu”
Belum sempat kuselesaikan pertanyaan, Dito sudah lari menghilang.
Pikiranku mulai
tak karuan, ada apa ini. Kupakai jilbab sekenanya dan kukejar Dito. Tepat di
depan rumahmu sebuah ambulan melaju di hadapanku. Rebah rasanya tubuhku,
keringat dingin menyembur dari tubuhku. Tak mampu lagi menapakkan kaki, belum
sempat tubuhku terjatuh.Dito merangkulku.Dibimbingnya aku masuk ke
rumahmu. Syukurlah kau tak mengapa.Kulihat kau tertidur di lantai rumah.Senyummu
masih seperti biasa.Hanya orang-orang mengelilingimu, mungkin sudah rindu
mereka padamu.Tiga tahun sudah kau tak berlebaran di kampung kita.Belum sempat
kugenggam tanganmu sebagai ucapan rindu. Tiba-tiba ibu memeluk erat tubuhku
dari belakang, ibu menangis, aku tak tahu apa yang terjadi. Mataku masih pasat
menatap senyummu yang memang begitulah seharusnya dirimu.Tapi kau tampak begitu
pucat, mengapa pula ada kapas di hidungmu.
Ibuku masih
menangis
“Nduk..iling nduk…iling…sing sabaar nduk”
Pandanganku menjadi gelap dan tubuhku seperti melayang. Sekelabat
rasanya kulihat kau memetik buah mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka
pintu.
source : www.dakwahwisata.com |