Rabu, 01 Januari 2014

Pada Suatu Ketika...

Kurapatkan tangan di telinga, kusembunyikan muka di balik bantal. Suara itu membuatku bergidik, seperti sedang mendengar pertanda perang.

Aku gemetar, tak sangggup mendengar. Pintu rumah membuka pelan, ada suara langkah.
“Ampuun, nih eneng, orang pada menyambut tahun yang berubah, eh dia malah gelagepan di kamar,”suara bibik memecah takutku.

“Gak mau, Bi, keluyuran. Lagian serem,” kujawab sekenanya “Serem ? napa emang ?”

 “Ya serem aja,” aku menyambar remote teve sebelum bibi menguasai.

 *** 
Sungai Batanghari memancarkan pantulan warna, suara menggelegar terdengar dimana-mana. Malam yang selalu penuh hiruk pikuk, pikirku. Langit masih berwarna, entah dua atau tiga jam lagi, waktu yang dinanti akan datang. Tak habis pikir, mengapa kita menunggu sesuatu yang begitu abstrak, waktu.

Ya, waktu. Apakah kita pernah diajak bersepakat tentang waktu, tentang jumlah menit dalam jam. Tidak kan ? kita hanya menerima begitu saja.

 “Woi, ngapain bengong ?” Suara keras Leroy mengusikku. Aku acuh.

“Mikirin Nadya ya ?” Belum puas ia mencoba menjahiliku.

 ‘“Kalo iya kenapa, kalo ngga kenapa,” kujawab ketus.

“Anjrit, ketus amiiir..” Leroy kesal dengan jawabanku

 “Makanya jangan LDRan,” sambung Leroy tanpa rasa bersalah. Hatiku memang sendang gundah.

“Yee, dia bengong lagi, udah ngaku aja kalau kangen, telpok kek, sms kek, kan beras,” Leroy mencoba menebak-nebak lamunanku.

“Kami sudah berjanji untuk gak kontak enam bulan,” Leroy bengong mendengar penjelasanku.

 “Gila emang kalian, udah LDR pake gituan lagi. Tinggal nunggu putusnya aja,” Leroy menggeleng-geleng kepala.

Cinta, ehm...cinta. Begitu sulit aku memahaminya. Aku tak yakin ada yang bisa menggantikan Alya, tidak juga Nadya. Ah, biarlah waktu yang menguji semua. Jalanan makin padat, mobil-mobil silang sengkarut di depan Pasar Angso Duo, kami memilih menepi di warung kopi.

 ***

 “Nadya, yakin gak mau ikutan keluar ?”

 “Ga Ma, males, lagian mau ujan. Nadya di rumah aja,” kujawab ajakan mama tanpa memalingkan tatapan dari layar kaca. Serial Bart Simpson ini mengingatkanku padamu, Damar.

Ah, kenapa juga kita pakai ide gak kontak-kontakan selama enam bulan ini. Kalau saja aku berani melawan rasa takutku, andai saja aku berani meniup terompet pemberianmu dulu, mungkin sekarang ktia sedang telpon-telponan dan berbagi rindu.

Ah, entah apa yang merasuki memoriku, sehingga tiap kali mendengar suara terompet aku merasa ngilu dan ketakutan. Alih-alih meniupnya. Aku tahu kau benci melihat aku jadi perempuan penakut, aku tahu kau tak suka melihat aku lemah. Tapi, kamu gak bisa memaksakan semua, ini kan butuh proses, Mar.

Ah, kamu memang lelaki keras kepala. Masak menguji cinta harus pakai gak komunikasi enam bulan.

 ***

“Woi, Damar, angkat tuh hapemu, sapa tahu Nadya,”

 “Mana mungkin ia berani niup terompet,”

 “Terompet ? apa urusannya ma terompet ?” Leroy bingung, meski bingung kopi tetap diseruput. Ehm, dasar...!

“Perjanjian enam bulan ini batal, kalau ia berani melawan rasa takutnya.”

Kulirik hape, bener ternyata Nadya.

“Halo....halo...Nadya...?”

 “Happy new year, Damar......teeeeeeeeeeeettttttttt teeeeeeeeeeeeet,” suara di ujung telepon memekakkan.

 “What ???”

 “Yup aku berani meniup terompet serem ini, untuk kamu,” suara Nadya nyaris tak terdengar tergusur letupan kembang api yang mewarnai langit Jambi. Ah, Nadya andai kamu ada disini...


Sumber inspirasi : www.dakwahwisata.com

0 komentar:

Posting Komentar

Proudly Support by :