Sabtu, 15 Oktober 2016

Kamu, Mengkudu dan Takbiran Itu

Angin pagi mengusik daun mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.Ya, mengkudu yang selalu mengingatkanku padamu. Sampai sekarang tak habis aku berpikir,Ah, betapa romantisnya dirimu.Saat orang-orang memberi mawar indah untuk kekasih, kau malah memberiku bibit mengkudu. Pula kau paksa aku menanamnya di muka pintu.Payah !

“Agar kau selalu teringat aku. Lagipula buah mengkudu ini banyak manfaatnya..”ujarmu ketika itu. Antara kesal dan lucu, kutanam mengkudu itu.Alhasil ibuku menggerutu, karena sungguh tak eksotis mengkudu pemberianmu itu.

Kini, enam tahun sudah mengkudu itu tumbuh.Enam tahun pula hubungan kita, banyak fase yang terlewati. Terkadang lelah menghadapi kekerasan hatimu, kadang ingin menyerah melihat sifat tak acuhmu. Tapi, itu semua yang membuatmu berbeda.Enam tahun pula mengkudu itu telah menjadi tempatku mengadu saat aku kesal padamu.Tak banyak yang mau mendengar keluh kesahku tentangmu, ibuku bilang kamu itu lelaki berkepala batu. Adikku bilang, kamu itu tak bisa diharapkan.Vita, kakakku, bilang kamu itu seperti angin. Hanya bisa dirasa tapi tak bisa disentuh.Hanya mengkudu itu yang tak menilai buruk padamu.

Kalau saja kau tahu, aku lelah.Mencintaimu seperti mencintai hujan di bulan Januari, kadang-kadang lebat tak terkira namun kadang gerimispun antara ada dan tiada.Hubungan kita layaknya gelombang, suatu saat memuncak, lain waktu menghujam. Sudahlah, semua itu akan berlalu, lusa kau akan melamarku. Masa-masa bergelombang itu akan jadi kenangan. Kita akan menjadi satu menghadapi tiap gelombang kehidupan.

“Ira..!” suara ibu memecah lamunanku.
“Ada apa bu ?”
“Kemari dulu nak, ibu mau bicara” Tak biasanya ibu mengajakku berbincang sepagi ini.Matahari saja belum utuh di ufuk.

Ibu memilih duduk di ranjangku, kuhampiri ibu yang hari itu nampak begitu anggun dalam balutan kebaya berwarna jingga.Kain batik bermotif parang tuding menjadi pelengkap kebaya jingga itu. Ah entah mengapa sepagi ini ibu sudah rapih. Lama sekali ibu tak melihat ibu mengenakan itu, mungkin karena ini hari terakhir puasa.

                “Nduk, dirimu sudah mantap betul dengan Nak Ribas ?Hidup ini sekali saja nduk, salah kamu memilih jodoh, alang kepalang berat hidupmu nanti, nduk.”
                “Inggih bu, saya mantap”
                “Jawab dengan hatimu, nduk.Jangan dengan mulutmu” Suara ibu yang bergetar membuat lidahku keluh.
                “Ribas itu bukan lelaki biasa, ibu sudah sering katakan. Dia keras kepala, hidupnya pasti tak akan pernah mudah. Kamu siap, nduk ?
                “Inggih, bu”
                “Nduk, kamu tahu mengapa sepagi ini ibu memakai batik parang tuding ini.Motif ini bermakna cinta kasih, ketulusan dan biasa digunakan menggendong bayi.Hari ini hari terakhir ibu bisa menggendongmu, nduk. Esok lebaran, lusa kamu dilamar, tiga hari lagi kau akan menikah. Tugas ibu menggendongmu selesai, nduk” Airmata tipis meleleh dari wajah perempua yang cintanya padaku tak berbatas itu. Sebuah sapu tangan putih bergaris biru ia usapkan. Sapu tangan yang selalu ibu simpan, kenangan dari almarhum ayah.

                Aku tak bisa berkata-kata, hanya sanggup menatap jemari ibu.Menatap wajahnyapun aku tak sanggup lagi.Ada perasaan bersalah, harus segera meninggalkannya. Meski menikah tak berarti memilih antara suami dan ibu, tapi tetap saja perhatianku akan terbagi.

                “Nduk, kalau mantap, jalanilah.Jika tidak maka mundurlah.Mencintai itu tak selalu mudah, nduk.Kalau tak siap lebih baik menepi dahulu” Suara ibu seperti menusuk-nusuk kesadaranku paling dalam. Kemantapan hatiku seolah digoyah seribu satu tanya. Benarkah dia ? Diakah yang terbaik ? Sanggupkah aku mencintainya ? Benarkah dia mencintaiku ?Semua pertanyaan bergejolak.

                “Berpikirlah dengan hatimu dan mintalah petunjuk Gusti Allah, nduk. Masih ada waktu”
Ibu beranjak, meninggalkanku dalam seribu satu tanya.

***
                Dari jendela kamar kutatap batang mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.Sudah berulang kali mengkudu itu berbuah, kadang diminta oleh tetangga, kadang satu, dua membusuk di halaman rumah. Menatap mengkudu itu membuatku memantapkan hati, kaulah lelaki itu !

                Kutahu bersamamu kelak tak akan pernah mudah. Tapi bukankah begitulah hidup. Tak akan pernah benar-benar mudah. Mengapa aku harus takut.Aku hanya khawatir, jika kelak aku tak lagi menarik di matamu. Aku khawatir, kalau kalau nanti kau tak lagi bersemangat berdiskusi denganku. Ah, bukankah itulah resiko mencintai. Tak mau kupikir semua terlalu rumit.Biarlah mengalir saja, Seperti hidupmu yang selalu mengalir.

                Sungguh ajaib mengetahui akhirnya dirimu memilih untuk melamarku dan akan menikahiku. Enam tahun kita membahas ini, tak sekalipun kau nampak antusias membincangnya. Ada saja alasanmu.Hampir-hampir segala alasanmu itu kuhafal di luar kepala.Mulai dari belum waktunya sampai masih banyak impian yang belum kita raih.Selalu itu dalilmu.

                Tiba-tiba saja tiga hari sebelum ramadhan, kau tempelkan kertas di depan pintu kamar kosku. “Habis lebaran ini aku akan melamarmu, kita langsung nikah. Sederhana saja..” Hah, sungguh tak bisa kupahami cara pikirmu. Tak terduga, gila !Mencak-mencak kutelpon dirimu.Apa jawabmu “Kita bahas nanti ya, aku lagi di perjalanan mau ambil foto suku laut di Riau.” Kamu memang gila, pikirku. Entah mengapa, justru aku menikmati caramu mencintaiku. Kau terlalu apa adanya, hidupmu terlalu vulgar kurasa.

                Selalu ada warna dalam perjalananmu.Kau pilih jalan yang menikung, begitu kata teman-temanmu.Aku melihatmu sebagai manusia yang resah. Rasanya masa depanku akan dipenuhi ketidakpastian jika menikah denganmu. Tapi entah mengapa aku menyukai caramu memilih hidup.

                Semakin kumemikirkanmu semakin tahulah aku jawaban dari pertanyaan ibu tadi.Aku mantap dan yakin.Bismillah !
***

                Takbir mulai bergema di penjuru desa.Bersahutan dari mushollah ke mushollah.Malam lebaran selalu membawa suasana yang berbeda.Ada keriangan, ada syahdu dan ada harapan menjadi satu.Tak sabar rasanya bertemu denganmu.Seharusnya petang ini kau telah tiba. Telepon genggammu sama sekali tak bisa dihubungi, seperti biasa, kau tak terlalu peduli dengan telepon genggammu. Ah, paling dirimu sudah tak jauh lagi. Apalagi tahun ini kau memilih mudik dangan motor, pasti tak terlalu kena macet, pikirku.

                Satu lagi kegilaanmu, saat harga tiket pesawat tak lagi seberapa.Kau memilih naik motor.Katamu, ingin merasakan sensasi mudik bermotor. Dasar gila !Ya, tapi itulah dirimu, keras kepala.

***
                Suara takbir kian surut ditelan malam, sunyi mulai menyelimuti. Empat jam jelang subuh, tak ada tanda-tanda kau telah tiba di rumahmu. Sedari tadi aku sudah pesan ke adikmu untuk sms atau telpon aku kalau dirimu tiba.Tak kunjung ada berita.Hatiku mulai rapuh, jangan-jangan kau memutar balik kepala motormu karena takut melamarku.Seribu satu pikiran buruk berkecamuk.

                Kubuka jendela, kupandangi batang mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka. Kulirik baju kokoh yang kubelikan untukmu, warnanya senada dengan baju yang akan kupakai saat keluargamu datang melamarku. Sudah kusetrika rapih baju itu, bisa pula kau pakai untuk sholat ied esok.

                Dimana gerangan kau, kekasih ? Hatiku bertambah rapuh menatapi jam dinding yang bergerak begitu laju rasanya. Mungkin kau memang pengecut !

                Sebuah langkah cepat di halaman rumah menyentak rasa kantukku. Adikmu rupanya.Lega rasa hatiku. Pasti akan mengabari kedatanganmu, karena jaringan sibuk, pasti tak bisa kirim sms.

                “Mbak Ira, da…da datanglah ke rumah”
                “Dito, kamu kenapa ? Kenapa kamu pucat dan gugup begitu”
Belum sempat kuselesaikan pertanyaan, Dito sudah lari menghilang.

                Pikiranku mulai tak karuan, ada apa ini. Kupakai jilbab sekenanya dan kukejar Dito. Tepat di depan rumahmu sebuah ambulan melaju di hadapanku. Rebah rasanya tubuhku, keringat dingin menyembur dari tubuhku. Tak mampu lagi menapakkan kaki, belum sempat tubuhku terjatuh.Dito merangkulku.Dibimbingnya aku masuk ke rumahmu. Syukurlah kau tak mengapa.Kulihat kau tertidur di lantai rumah.Senyummu masih seperti biasa.Hanya orang-orang mengelilingimu, mungkin sudah rindu mereka padamu.Tiga tahun sudah kau tak berlebaran di kampung kita.Belum sempat kugenggam tanganmu sebagai ucapan rindu. Tiba-tiba ibu memeluk erat tubuhku dari belakang, ibu menangis, aku tak tahu apa yang terjadi. Mataku masih pasat menatap senyummu yang memang begitulah seharusnya dirimu.Tapi kau tampak begitu pucat, mengapa pula ada kapas di hidungmu.

                Ibuku masih menangis
                “Nduk..iling nduk…iling…sing sabaar nduk”

Pandanganku menjadi gelap dan tubuhku seperti melayang. Sekelabat rasanya kulihat kau memetik buah mengkudu yang kutanam tak jauh dari muka pintu.




Proudly Support by :