Alang kepalang mahsyurnya
sosok ini di dusun kami. Mulai dari anak kecil hingga yang berumur
jelang seabad, dari santri hingga pencoleng mengenalnya. Kedermawannya
menggetarkan, tak ia izinkan seorang warga kelaparan. Tiap akhir pekan
ia membagikan beras dan delapan bungkus mi instan untuk warga yang
kekurangan. Ojo didelok regone, sing penting aku ikhlas ngawehine, begitu tutur lembutnya kalau si penerima itu orang Jawa. Isinyo dak seberapo, mudah-mudahan bae biso beguno, itu tuturnya kalau yang menerima orang tempatan.
Tutur katanya begitu lembut dan teratur,
tiap kalimat yang keluar dari mulutnya seolah sihir, begitu melenakan.
Haji-haji kampung terkesima kala ia mewasiatkan sesuatu, gadis-gadis
desa seolah terbang manakala ia melantunkan pujian, bahkan
perempuan-perempuan bersuamipun bisa mabuk kepayang dibuatnya. Tak
terbilang lagi perempuan yang pernah dan tengah menjadi istrinya, baik
tercatat maupun sekedar lewat, kilat.
Tujuh patung, sebuah masjid dan dua gedung telah ia persemppahkan untuk dusun kamu. Ia dikenal mulai dari orang istana hingga pengemis papah. Tak lekang oleh waktu kisah tentang dia. Wanas,
begitu namanya kami kenal. Tak pernah ada yang tahu nama lengkapnya,
apalagi silsilah keluarganya. Ia seperti orang suci, terlahir begitu
saja. Tanpa awalan dan tak tahu dimana akhiran. Sejarah dusun kami
adalah sejarah Mas Wanas, tak terelakkan, tak terbantahkan.
Kentara sekali jika ia adalah Melayu tulen,
bentuk wajahnya, matanya dan juga gaya biacaranya. Melayu seratus persen
tapi ia lebih memilih dipanggil mas, tinimbang bang atau kak, atau
sematan lain beraroma melayu. Mas Wanas, begitulah ia selalu disapa.
***
Dusun kami sejatinya adalah dusun Melayu
tulen, rumah-rumah hampir semua bertiang tinggi tak kurang dari sedepa,
berladang dan berkebun adalah mata pencaharian utama, warung kopi
berjajar di sisi jalan. Namun 1970, seratus tiga puluh keluarga datang
ke dusun kami atas nama pemerataan penduduk dan pemerataan kesempatan.
Saling silang pertentangan terjadi sejak itu, sejak aku ingat saja,
sudah paling tidak ada dua belas kali konflik berdarah terjadi. Melayu
melawan Jawa.
Nyaris tak ada gadis Melayu yang keluarganya
rela ia dipersunting orang Jawa, aib keluarga, kata mereka. Mulanya
Orang Jawa hanya mendiami sisi hulu dusun, tapi seiring waktu jumlah
mereka bertambah, kesuksesan berusaha juga mengiringi mereka dan rumah
mereka terus bergerak ke tengah dusun. Tiap ada orang melayu yang
kesusahan dan terpaksa menjual tanah, bisa dipastikan orang Jawa berani
menawar tinggi.
Melayu pemalas, begitu orang Jawa menggelari
warga tempatan yang biasa menghabiskan hampir separuh waktunya di
warung kopi, berkelakar dan bersilat lidah hobi mereka. Pekang
dan tak terurus, begitu sebaliknya orang Melayu menggelari Orang Jawa,
yang berhari-hari kerjanya mencangkul atau mengarit, hingga tak sempat
memerhatikan penampilan. Jangankan ikut bergaul di warung kopi, untuk
sekedar nonton teve pun mereka seperti tak ada waktu. Kebencian telah
menjadi sesuatu yang turun temurun. Mewaris dari satu generasi ke
generasi berikut.
Sampailah suatu ketika di petang tak
berangin dan saat burung-burung gereja berbondong-bondong kembali ke
sarang. Tiba-tiba dusun kami menjadi bersatu padu, warung-warung kopi
dipenuhi Orang Melayu dan Jawa, pasar dusun tiba-tiba bergemuruh oleh
percakapan antara ibu-ibu Melayu dan Jawa. Hanya satu yang menyatukan
mereka, penguncang dadu di halaman masjid.
Semua bersepakat bahwa si penguncang dadu
harus diusir, tak ada kompromi. Ia telah mencoleng martabat dusun. Ini
kali pertama akhirnya dusun kami tak lagi mengenal latar kesukuan, Jawa,
Melayu, tiba-tiba menjadi lebur dalam satu kepentingan. Mengusir penguncang dadu di halaman masjid.
Tentu ini bukan perkara sulit, apalagi si penguncang dadu bukanlah penduduk dusun kami. Hanya saja yang tak habis pikir,
si penguncang dadu itu selalu ikut sholat berjamaah di masjid. Maghrib dan Isya hampir pasti ia ada di masjid. Ia membuka lapak dadunya dari
jam tujuh malam hingga jam satu atau dua tengah malam. Seminggu ia
membuka lapak, pengunjungnya tak sedikit, seratus mungkin lebih.
Penolakan melangit tapi peserta kuncang dadu pun makin tak sedikit.
Ditambah si penguncang dadu juga telah mewakafkan seratus juta lebih
untuk pengembangan bangunan masjid di dusun kami.
Sejak saat itulah dusun terbelah, antara
yang menganggap penguncang dadu adalah berkah dan yang menganggap
penguncang dadu adalah musibah. Persekutuan di dusun berubah bukan lagi
Melayu atau Jawa, tapi pendukung dan penolak
penguncang dadu di halaman masjid. Mas Wanas, itulah nama si penguncang
dadu, sejak saat itu namanya meroket. Dibenci sekaligus dipuji, dicaci
tapi juga disembah. Masjid menjadi makmur, uang jutaan mengalir tiap
pekan ke rumah tuhan. Dusun menjadi semarak, warung-warung tiba-tiba
melonjak omsetnya. Bisnis kaki lima pun tumbuh subur. Mas
Wanas telah merubah wajah dusun kami. Orang-orang dari tempat-tempat
nan jauh berdatangan. Polisi dari kecamatan bahkan dari propinsi juga
lalu lalang, bukan untuk menciduk Was Wanas, sang juragan, tetapi
mengincar uang setoran. Tak sedikit jumlahnya, dua juta semalam. Jumlah
yang tak seberapa, jika dibanding omset Mas Wenas yang puluhan juta.
Rumah-rumah disulap jadi wisma, menampung
para pejudi yang datang dari berbagai dusun. Jarang sekali kamar-kamar
kosong, apalagi di akhir pekan. Pelan tapi pasti dusun
kami menjadi bergairah, begitu hidup dan penuh keceriaan. Satu persatu
penentang penguncang dadu di halaman masjid berubah haluan. Menjadi
pendukung Mas Wanas yang dermawan.
Atas nama kemajuan dusun, Mas
Wanas telah menjadi idola. Patungnya telah didirikan di ujung jalan
dusun. Karena besarnya sumbangan yang dikeluarkan Mas Wenas untuk
masjid, warga lebih mengenal masjid itu dengan nama Masjid Mas Wanas.
Halaman masjid yang biasanya sepi, paling-paling diisi satu dua sepeda,
kini telah benar-benar berubah, ramai, berwarna dan penuh hiruk pikuk.
Warung-warung, tempat pijat, penitipan motor, bahkan ada penjual kaos
khas dusun kami. Ekonomi dusun bergerak, tak melulu tentang kebun karet
lagi.
Hanya satu orang saja yang
masih dengan kokoh dan tiada henti melawan kehadiran lapak-lapak dadu di
halaman masjid, Mang Karni, ya Mang Karni namanya. Tak henti ia
mengingatkan siapa saja akan bahaya yang mengancam dusun. Ia telah
menjadi semacam pengkhotbah anti Mas Wanas. Tapi apa daya tak satupun
lagi warga dusun yang memedulikannya. Kemajuan dan kebaikan yang dibawa
Mas Wanas dan lapak dadu di halaman masjid telah membubungkan harapan
warga. Mang Karni pun ditinggal warga, hanya dianggap lelaki tua yang
nyaris gila.
***
“Bodoh sekali, sepuluh juta kau tolak, sepuluh juta,”
teriak Bik Warsi, istri Mang Karni suatu petang. Mang Karni tak
bergeming, matanya tetap pasat menatap buku yang ia pegang. Bik Warsi
geram.
“Kau tahu pak, getah karet tak ada harga lagi, uang sebanyak itu malah kau tolak,”
tak berkurang geram Bik Warsi. Mang Karni masih sibuk dengan buku yang
ia baca, ada semacam ketenangan yang luar biasa di wajah tua Mang Karni.
Sementara itu angin berhembus menyentak pintu kayu rumah panggung Mang
Karni. Berdiri Mang Karni membenarkan posisi pengganjal pintu. Ia hanya
melirik Bik Warsi yang tengah khusyuk dengan sirih dan pinang di tangan.
“Kalau aku bicara, manalah
kau peduli. Ingat pak, sudah tiga lebaran tak ada satupun tetangga yang
bertandang ke rumah kita. Apa bapak ngga malu ? Sedusun ini membenci
bapak,” suara Bik Warsi seolah menderu diterjang suara angin yang
bergemuruh. Mang Karni membenarkan posisi duduknya, tapi mulutnya masih
mengatup rapat. Hanya matanya yang tajam memasati buku.
Bukan sekali dua pesuruh Mas
Wanas berusaha mengantar uang yang tak sedikit ke Mang karni, tapi tak
sekalipun uang itu ia terima. Berbagai cara digunakan Mas Wanas, tapi
Mang Karni tetap menolaknya. Mulai dari angka sejuta hingga sepuluh juta
pernah dikirim ke rumah tua Mang Karni yang hidup bersama istrinya.
Karena terlalu kesal pesuruh Mas Wanas pernah pula mengancam akan membunuh Mang Karni, ia hanya menjawab singkat “Bunuhlah…”
Rayuan dan ancaman telah
menjadi semacam menu rutin bagi Mang Karni lima tahun terakhir.
Kebencian warga dusun pun makin menjadi, bukan sekali dua rumah Mang
karni hampir dibakar warga. Kepala desa, pak RT, kyai dusun bahkan Pak
Camat pernah menasehati Mang Karni untuk menerima kenyataan bahwa dusun
sudah berubah dan Mas Wanaslah yang memajukan dusun, pantas kalau
didukung. Mang Karni selalu menjawab “Ada masanya kita semua akan melihat kehancuran dusun ini,”
selalu itu kalimat yang diulang Mang Karni tiap petinggi dan orang
penting datang ke rumahnya yang berdiri menghadap sungai Batanghari dan
membelakangi jalan dusun. Rumah yang ganjil, karena semua rumah
menghadap ke jalan.
Sungai adalah masa lalu, jalan
besar beraspal adalah hari ini, begitu kata orang-orang dusun ketika
mengubah muka rumah mereka yang dulu menghadap ke batanghari. Tidak bagi
Mang Karni, tak terbersit dalam pikirannya membalik muka rumah.
Aku bisa jadi satu-satunya
orang dusun yang masih berbincang dengan Mang Karni, seusai menamatkan
sekolah menengah di kota, aku pulang ke dusun. Bisa jadi akulah manusia
terakhir di dusun ini yang masih mendengarkan khotbah Mang Karni tentang
bahaya lapak dadu di halaman masjid. Kami sesekali bertemu sembari
memasang serua di anak-anak sungai Batanghari atau mancing bersama.
“Muslan, apa kau pernah berpikir, lapak dadu di halaman masjid dusun kita itu sama artinya kita mengencingi rumah tuhan,”
suara lembut Mang Karni membuyarkan konsentrasi memancingku. Kami
berdua dalam sebuah perahu di sebuah petang yang tenang. Ikan baung yang
kami incar.
“Tapi herannya kita semua dibutakan oleh uang yang diserak-serakkan oleh si Wanas itu. Hitam menjadi putih, gelap menjadi terang,”
kalimat berikut dari Mang karni meluncur, seolah tak lagi menunggu
reaksiku. Kulempar pancing agak ke tengah, aku hanya menganggukkan
kepala tanda persetujuan pada kalimat Mang karni.
“Kau lihat mana ada lagi
anak-anak muda mau mencari ikan, kebun-kebun karet dijual untuk modal
berjudi, perempuan-perempuan sudah lupa diri karena sibuk menemani
laki-laki di halaman masjid,” kalimat-kalimat Mang Karni itu
sebenarnya sudah berulang kali aku dengar. Tapi aku tak berniat
mematahkannya, kubiarkan ia bicara. Meski aku tak terlalu fokus
mendengarkan Mang Karni. Ikan yang menarik-narik pancingku jauh lebih
kupedulikan dari kalimat Mang Karni.
“Terus kita harus bagaimana, mang ?” responku sekenanya.
“Ah, seharusnya kau yang muda Muslan, yang memikirkan caranya. Aku ini sudah tua, entah esok atau bulan depan aku sudah tiada,” kalimat
itu mengejutkanku. Aku seolah diingatkan Mang Karni memang sudah tak
muda, rambutnya sudah memutih, kerutan dan lekuk dalam di sekitar
matanya menandakan panjang sudah perjalanan hidupnya. Apa yang terjadi
jika ia benar-benar pergi, tak akan ada lagi yang melawan tirani Mas
Wanas dan lapak-lapak dadunya. Entah mengapa tiba-tiba aku menjadi
gelisah.
Sebuah tarikan keras menyentak
senar pancingku, aku terkejut, kutarik keras pancingku. Sebuah ikan
baung muncul di permukaan. Tak terlalu besar tapi cukuplah untuk
menghibur kami berdua yang sudah dua jam berada di dalam perahu dan
tanpa hasil.
***
Tujuh hari dari peristiwa
mancing bersama Mang Karni, pikiranku masih bergoyang oleh kalimat Mang
Karni tempo itu. Aku seperti tersentak menyadari bahwa ada saatnya Mang
Karni akan menyerah dan berhenti melawan si penguncang dadu. Menyerah
bukan oleh rayuan atau ancaman Mas Wanas tapi oleh maut. Apa jadinya
dusun ini tanpa orang seperti Mang Karni, yang meski dibenci tapi tak
berhenti melawan, meski dicaci ia tak lantas menyerah pada kenyataan.
Daun-daun pohon rambutan yang
rapuh lepas satu persatu dari ranting, angin mengusili ilalang yang
tumbuh di tepian jalan. Pikiranku masih tertuju pada Mang Karni, antara
prihatin dan bangga pada sosoknya. Tiba-tiba terbersit kehendak hati
menemani perjuangan Mang Karni, membukakan mata hati penguni dusun bahwa
selama ini telah salah.
Wanas hanyalah srigala berbulu
domba, setan yang menyamar menjadi nabi, dan pendurhaka yang bermanis
wajah. Tapi bagaimana ? Wanas telah menjadi legenda bahkan dianggap
orang suci yang harus dibela. Ia sholat berjamaah tiap waktu di masjid,
uang infaqnya tak terbilang mengalir ke masjid dan para fakir. Setiap
ornag kesusahan pasti ia bantu. Meski selalu berujung terjualnya kebun
warga kepadanya. Entah berapa ribu hektar sudah kebun karetnya.
Bagaimana bisa aku melawannya,
sedangkan untuk makan sehari-hari saja aku susah. Gaji sebagai guru
bantu hanya cukup untuk untuk membeli susu anakku. Terlintas untuk
berangkat ke kota dan melaporkan ini pada aparat negara disana. Tapi
bagaimana bisa, tiap malam saja banyak pejabat yang hilir mudik di
halaman masjid. Bukan untuk sholat berjamaah tapi menanti mata dadu
dikuncang. Belum lagi polisi yang rutin dengan setoran. Ah, tak akan ada
gunanya. Rubuh satu rubuh semua, mana mungkin mereka mau melakukan itu.
Kutelisik catatan-catatanku
saat di kota dulu, berusaha mencari solusi dari lembar-lembar kertas tua
yang mulai rapuh itu. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku.
Gairah untuk melawan tiba-tiba muncul, seperti hujan yang mendera
kemarau panjang, hatiku tiba-tiba mekar dan meyakini ada sebuah sinar di
tengah gelapnya malam.
Langsung kuambil sepeda tuaku
dan kugegas, rumah Mang Karni, ya dia orang pertama yang harus tahu
rencanaku ini, pikirku. Jalanan mulus dusun kami yang dibangun dengan
sumbangan dari Mas Wanas membuat laju sepedaku makin cepat. Jarak dua
kilo dari rumahku ke rumah Mang Karni menjadi tak jauh rasanya. Gairahku
membuncah. Pasti Mang Karni akan bahagia mendengar rencanaku ini,
pikirku.
Matahari mulai rebah di
cakrawala, sandekala. Cahaya langit berpendar, merah kekuningan
warnanya. Pikiranku mengangkasa, inilah saatnya mengakhiri kejayaan mata
dadu di dusun kami.
Rumah Mang Karni yang
membelakangi jalan desa dan menghadap ke Batanghari mulai nampak,
kusandarkan sepeda di anak tangga rumah panggung yang mulai rapuh
dimakan waktu. Tak nampak Mang Karni dan istrinya yang biasa duduk di
teras depan rumah yang menghadap ke Batanghari, dua pasang sandal nampak
di depan pintu.
Pintu rumah terbuka lebar, tiga
orang duduk bersila di tengah rumah. Aku mengenal wajah ketiga orang
itu, Bik Warsi istri Mang Karni, Pak ustadz dan Pak Ledi, guru sekolah
temanku. Terpukul mundur rasanya, tatkala kulihat sesosok tubuh yang
terbaring di hadapan mereka bertiga. Sebuah kain panjang bermotif
bunga-bunga berwarna jingga menutupi tubuh itu. Aku tahu siapa dibalik
kain panjang itu. Kubalikkan badan, persis saat Bik Warsi memanggil
namaku.
Kugapai sepedaku dan kupacu
laju di jalan dusun. Pikiranku bergemuruh, air mataku pun luruh. Aku
terlambat pikirku, kemana saja aku selama ini. Di hadapan sebuah rumah
megah dengan pilar-pilar besar aku berhenti, segerombolan orang yang ada
di depan rumah itu menatapiku pasat. Mas Wanas tampak diantara mereka,
suara musik yang membahana keluar dari speaker besar yang dipasang di bawah pohon jambu. Sebuah pesta baru saja dimulai di rumah pahlawan desa itu.
Ilustrasi by : Huzer Apriansyah
Ilustrasi by : Huzer Apriansyah
0 komentar:
Posting Komentar