doc @huzer |
Kau masih sama saja, bersemangat, liar
dan manja. Tak banyak yang berubah, kata-katamu masih terhunus dan selalu ketus.
Sepuluh tahun lalu kau berteriak tentang negeri yang timpang, dunia yang
bimbang dan rakyat yang meradang. Hari ini, usai perjalanan nan panjang ini, kau
masih dengan suara sumbang bergelombang.
Bukan aku tak peduli pada perjuanganmu,
tapi aku ini gadis yang menunggumu. Bukan dua tiga tahun, tapi sepuluh tahun sudah.
Aku ini bukan meja kayu nan rapuh di kamarmu, yang setia menanti dan menemani.
Apa kata orang-orang di kampungku, perawan tua lah aku ini. Ah, kalau kalimat ini
kumuculkan. Kupastikan tujuh kalimat sakti mu akan keluar;
“Perempuan
itu punya kuasa atas tubuhnya. Konstruksi cultural dan sosial yang
patriarkislah yang membuat ada istilah perawan tua. Jangan pula kau tunduk pada
sterotype yang tiran itu. Konstruksi berpikir kita harus diubah, jangan menyerah
pada penindasan macam itu.Perempuan itu punya tahta atas hidupnya. Bukan digoyang-goyang
dengan segala macam mitos. Tunggulah waktunya..” Sampai
kuhafal di luar kepala tujuh kalimat ampuh itu.
Gagah sungguh kau di garda depan demonstrasi,
tapi coba soal pertunangan, kau membujur basi. Ingin rasanya aku berpura-pura hamil,
agar kau mau mengambil sebuah langkah berani.Tapi, jujur aku orawani. Sepuluh tahun itu bukan waktu
yang singkat, kekasihku.Terbersit lelah hati, kadang ingin berhenti aku mencintaimu.Tapi,
entah mengapa tiap kali menatap wajah tirusmu yang tak terurus, niat ku langsung
menguap tiada sebab. Kau terlalu lugu, kekasihku. Atau kau terlalu naïf. Atau mungkin
kau terlalu jujur, kekasihku.
Apakah kau tak melihat kawan-kawan lamamu
itu. Mereka muncul di layar-layar teve, tak sedikit yang berumah mewah dan terpandang
pula. Mereka ada di Senayan, mereka ada bersama kekuasaan. Hidup mereka berubah,
sayangku. Sedang kau ? Tak banyak yang berubah. Kadang aku menangis melihatmu masih
setia dengan motor bututmu yang bisa ngadat
dimana tempat. Hatikupilu, saat tempatmu bekerja hanya mampu memberimu seratus
dua tiap bulannya. Aku tahu bukan kau tak berusaha, tapi kau tak pernah mau mengalah.
Mungkin saja kalau kau bertahan lama di lembaga asing itu, kini kau sudah punya
mobil mewah. Tapi, kau justru memilih jadi pedagang roti. Pegal hatiaku menemanimu.
Apa sih maumu ?
Kadang aku membencimu, tapi di saat yang
sama aku semakin mencintaimu. Kau bukan sosok yang romantic tapi hadirmu serasa
sangat puitis. Kau bukan pujangga tapi senyummu membuat ku terjaga. Sepanjang umurku,
baru pada mu saja kulihat orang berkepalak arang. Hidupmu tak pernah tenang,
bahkan kau meracau dalam tidur. Mengapa kau pilih jalan ini, sayangku ? Bukankah
bisa kita buat sederhana saja. Menikah, punya keluarga dan hidup nyaman di
rumah mungil kita ? Kau bilang, itu terlalu biasa. Semua
orang juga begitu. Jangan-jangan kau hanya lelaki egois yang bengis ?Takut menghadapi
realitas, lalu sekedar berputar-putar tanpa batas. Pernahku sebut kau pengecut.
Muka mu memerah dan kau menangis. Serasa kau sudutkan aku dengan tangis mu itu,
tak pernah lagi kuulang kata-kata jalang itu.
Di awal kisah kita dulu, aku yakin suatu
saaat kau akan berubah. Layaknya orang-orang kebanyakan, pelan tapi pasti idealism
mu akan menepi seiring waktu. Mimpi-mimpi mu akan terserak pelan seiring kebutuhan.
Tenanglah aku ketika itu.Tapi apa lacur, kau tak berubah juga. Sama,
benar-benar sama. Kepala karang bisalah kubilang. Entah mengapa, aku tak bisa berhenti
memujamu walau kepala mu karang. Tak bisa pula berhenti mengkhawatirkan mu walau
keras hatimu. Kukira kau ini hanya keracunan virus Ahmad Wahib atau Gie itu saja.
Mahluk yang paling bahagia adalah yang
tak pernah dilahirkan kedunia, selanjutnya mereka yang dilahirkan tapi mati muda,
dan yang tersial adalah mereka yang mati tua.
Kupikir kau itu pemimpi yang romantic bukan
kekasih yang romantis jadilah kau tak lagi realistis. Kau selalu bicara soal teori
kritis si Habermas itu, tapi kau lupa banyak pengikut Habermas yang yang terjebak
menjadi nihilis. Apa kau mau seperti mereka ? Kau bilang all of human kind is a traveller. Apakah kau mau menjadi pengembara seumur
hidupmu, tanpa pernah berlabuh di teduhnya dermaga ?
***
Kekasihku, kini aku hanya bisa berdoa semoga
kau baik-baik saja. Semoga akan selalu ada yang merawatmu. Maafkanaku yang
harus takluk di tangan tirani patriarki, maafkan aku yang tak berani menantang zaman sepertimu.Maafkan aku yang menyerah untuk bersamamu.
Esok, pernikahanku kuharap kau tak hadir. Bukan apa-apa, tapi aku tak akan pernah
mampu menatap wajah tirusmu yang tak terurus itu. Matamu terlalu tajam untuk hatiku
yang rapuh ini. Syair “Hatiku Selembar Daun”
yang kau jadikan mantra penjinak hatiku dulu, akan tetap menjadi mantra hatiku jika
aku rindu.
Teruslah berlayar…oh captain my captain !
*
“Hatiku selembar daun” puisi karya Sapardi Djoko Damono