Sabtu, 16 Februari 2013

Lelaki Berkepala Karang

doc @huzer


Kau masih sama saja, bersemangat, liar dan manja. Tak banyak yang berubah, kata-katamu masih terhunus dan selalu ketus. Sepuluh tahun lalu kau berteriak tentang negeri yang timpang, dunia yang bimbang dan rakyat yang meradang. Hari ini, usai perjalanan nan panjang ini, kau masih dengan suara sumbang bergelombang. 

Bukan aku tak peduli pada perjuanganmu, tapi aku ini gadis yang menunggumu. Bukan dua tiga tahun, tapi sepuluh tahun sudah. Aku ini bukan meja kayu nan rapuh di kamarmu, yang setia menanti dan menemani. Apa kata orang-orang di kampungku, perawan tua lah aku ini. Ah, kalau kalimat ini kumuculkan. Kupastikan tujuh kalimat sakti mu akan keluar;

“Perempuan itu punya kuasa atas tubuhnya. Konstruksi cultural dan sosial yang patriarkislah yang membuat ada istilah perawan tua. Jangan pula kau tunduk pada sterotype yang tiran itu. Konstruksi berpikir kita harus diubah, jangan menyerah pada penindasan macam itu.Perempuan itu punya tahta atas hidupnya. Bukan digoyang-goyang dengan segala macam mitos. Tunggulah waktunya..” Sampai kuhafal di luar kepala tujuh kalimat ampuh itu.

Gagah sungguh kau di garda depan demonstrasi, tapi coba soal pertunangan, kau membujur basi. Ingin rasanya aku berpura-pura hamil, agar kau mau mengambil sebuah langkah berani.Tapi, jujur aku orawani. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang singkat, kekasihku.Terbersit lelah hati, kadang ingin berhenti aku mencintaimu.Tapi, entah mengapa tiap kali menatap wajah tirusmu yang tak terurus, niat ku langsung menguap tiada sebab. Kau terlalu lugu, kekasihku. Atau kau terlalu naïf. Atau mungkin kau terlalu jujur, kekasihku.

Apakah kau tak melihat kawan-kawan lamamu itu. Mereka muncul di layar-layar teve, tak sedikit yang berumah mewah dan terpandang pula. Mereka ada di Senayan, mereka ada bersama kekuasaan. Hidup mereka berubah, sayangku. Sedang kau ? Tak banyak yang berubah. Kadang aku menangis melihatmu masih setia dengan motor bututmu yang bisa ngadat dimana tempat. Hatikupilu, saat tempatmu bekerja hanya mampu memberimu seratus dua tiap bulannya. Aku tahu bukan kau tak berusaha, tapi kau tak pernah mau mengalah. Mungkin saja kalau kau bertahan lama di lembaga asing itu, kini kau sudah punya mobil mewah. Tapi, kau justru memilih jadi pedagang roti. Pegal hatiaku menemanimu. Apa sih maumu ?

Kadang aku membencimu, tapi di saat yang sama aku semakin mencintaimu. Kau bukan sosok yang romantic tapi hadirmu serasa sangat puitis. Kau bukan pujangga tapi senyummu membuat ku terjaga. Sepanjang umurku, baru pada mu saja kulihat orang berkepalak arang. Hidupmu tak pernah tenang, bahkan kau meracau dalam tidur. Mengapa kau pilih jalan ini, sayangku ? Bukankah bisa kita buat sederhana saja. Menikah, punya keluarga dan hidup nyaman di rumah mungil kita ? Kau bilang, itu terlalu biasa. Semua orang juga begitu. Jangan-jangan kau hanya lelaki egois yang bengis ?Takut menghadapi realitas, lalu sekedar berputar-putar tanpa batas. Pernahku sebut kau pengecut. Muka mu memerah dan kau menangis. Serasa kau sudutkan aku dengan tangis mu itu, tak pernah lagi kuulang kata-kata jalang itu.

Di awal kisah kita dulu, aku yakin suatu saaat kau akan berubah. Layaknya orang-orang kebanyakan, pelan tapi pasti idealism mu akan menepi seiring waktu. Mimpi-mimpi mu akan terserak pelan seiring kebutuhan. Tenanglah aku ketika itu.Tapi apa lacur, kau tak berubah juga. Sama, benar-benar sama. Kepala karang bisalah kubilang. Entah mengapa, aku tak bisa berhenti memujamu walau kepala mu karang. Tak bisa pula berhenti mengkhawatirkan mu walau keras hatimu. Kukira kau ini hanya keracunan virus Ahmad Wahib atau Gie itu saja. Mahluk yang paling bahagia adalah yang tak pernah dilahirkan kedunia, selanjutnya mereka yang dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah mereka yang mati tua.

Kupikir kau itu pemimpi yang romantic bukan kekasih yang romantis jadilah kau tak lagi realistis. Kau selalu bicara soal teori kritis si Habermas itu, tapi kau lupa banyak pengikut Habermas yang yang terjebak menjadi nihilis. Apa kau mau seperti mereka ? Kau bilang all of human kind is a traveller. Apakah kau mau menjadi pengembara seumur hidupmu, tanpa pernah berlabuh di teduhnya dermaga ?
***
Kekasihku, kini aku hanya bisa berdoa semoga kau baik-baik saja. Semoga akan selalu ada yang merawatmu. Maafkanaku yang harus takluk di tangan tirani patriarki, maafkan aku yang tak berani menantang zaman  sepertimu.Maafkan aku yang menyerah untuk bersamamu. Esok, pernikahanku kuharap kau tak hadir. Bukan apa-apa, tapi aku tak akan pernah mampu menatap wajah tirusmu yang tak terurus itu. Matamu terlalu tajam untuk hatiku yang rapuh ini. Syair “Hatiku Selembar Daun” yang kau jadikan mantra penjinak hatiku dulu, akan tetap menjadi mantra hatiku jika aku rindu.

Teruslah berlayar…oh captain my captain !

* “Hatiku selembar daun” puisi karya Sapardi Djoko Damono

1 komentar:

Proudly Support by :