Jumat, 12 April 2013

Penguncang Dadu di Halaman Masjid

Alang kepalang mahsyurnya sosok ini di dusun kami. Mulai dari anak kecil hingga yang berumur jelang seabad, dari santri hingga pencoleng mengenalnya. Kedermawannya menggetarkan, tak ia izinkan seorang warga kelaparan. Tiap akhir pekan ia membagikan beras dan delapan bungkus mi instan untuk warga yang kekurangan. Ojo didelok regone, sing penting aku ikhlas ngawehine, begitu tutur lembutnya kalau si penerima itu orang Jawa. Isinyo dak seberapo, mudah-mudahan bae biso beguno, itu tuturnya kalau yang menerima orang tempatan.

Tutur katanya begitu lembut dan teratur, tiap kalimat yang keluar dari mulutnya seolah sihir, begitu melenakan. Haji-haji kampung terkesima kala ia mewasiatkan sesuatu, gadis-gadis desa seolah terbang manakala ia melantunkan pujian, bahkan perempuan-perempuan bersuamipun bisa mabuk kepayang dibuatnya. Tak terbilang lagi perempuan yang pernah dan tengah menjadi istrinya, baik tercatat maupun sekedar lewat, kilat.

Tujuh patung, sebuah masjid dan dua gedung telah ia persemppahkan untuk dusun kamu. Ia dikenal mulai dari orang istana hingga pengemis papah. Tak lekang oleh waktu kisah tentang dia. Wanas, begitu namanya kami kenal. Tak pernah ada yang tahu nama lengkapnya, apalagi silsilah keluarganya. Ia seperti orang suci, terlahir begitu saja. Tanpa awalan dan tak tahu dimana akhiran. Sejarah dusun kami adalah sejarah Mas Wanas, tak terelakkan, tak terbantahkan.

Kentara sekali jika ia adalah Melayu tulen, bentuk wajahnya, matanya dan juga gaya biacaranya. Melayu seratus persen tapi ia lebih memilih dipanggil mas, tinimbang bang atau kak, atau sematan lain beraroma melayu. Mas Wanas, begitulah ia selalu disapa.
***
Dusun kami sejatinya adalah dusun Melayu tulen, rumah-rumah hampir semua bertiang tinggi tak kurang dari sedepa, berladang dan berkebun adalah mata pencaharian utama, warung kopi berjajar di sisi jalan. Namun 1970, seratus tiga puluh keluarga datang ke dusun kami atas nama pemerataan penduduk dan pemerataan kesempatan. Saling silang pertentangan terjadi sejak itu, sejak aku ingat saja, sudah paling tidak ada dua belas kali konflik berdarah terjadi. Melayu melawan Jawa.

Nyaris tak ada gadis Melayu yang keluarganya rela ia dipersunting orang Jawa, aib keluarga, kata mereka. Mulanya Orang Jawa hanya mendiami sisi hulu dusun, tapi seiring waktu jumlah mereka bertambah, kesuksesan berusaha juga mengiringi mereka dan rumah mereka terus bergerak ke tengah dusun. Tiap ada orang melayu yang kesusahan dan terpaksa menjual tanah, bisa dipastikan orang Jawa berani menawar tinggi.

Melayu pemalas, begitu orang Jawa menggelari warga tempatan yang biasa menghabiskan hampir separuh waktunya di warung kopi, berkelakar dan bersilat lidah hobi mereka. Pekang dan tak terurus, begitu sebaliknya orang Melayu menggelari Orang Jawa, yang berhari-hari kerjanya mencangkul atau mengarit, hingga tak sempat memerhatikan penampilan. Jangankan ikut bergaul di warung kopi, untuk sekedar nonton teve pun mereka seperti tak ada waktu. Kebencian telah menjadi sesuatu yang turun temurun. Mewaris dari satu generasi ke generasi berikut.

Sampailah suatu ketika di petang tak berangin dan saat burung-burung gereja berbondong-bondong kembali ke sarang. Tiba-tiba dusun kami menjadi bersatu padu, warung-warung kopi dipenuhi Orang Melayu dan Jawa, pasar dusun tiba-tiba bergemuruh oleh percakapan antara ibu-ibu Melayu dan Jawa. Hanya satu yang menyatukan mereka, penguncang dadu di halaman masjid.

Semua bersepakat bahwa si penguncang dadu harus diusir, tak ada kompromi. Ia telah mencoleng martabat dusun. Ini kali pertama akhirnya dusun kami tak lagi mengenal latar kesukuan, Jawa, Melayu, tiba-tiba menjadi lebur dalam satu kepentingan. Mengusir penguncang dadu di halaman masjid. 

Tentu ini bukan perkara sulit, apalagi si penguncang dadu bukanlah penduduk dusun kami. Hanya saja yang tak habis pikir, si penguncang dadu itu selalu ikut sholat berjamaah di masjid. Maghrib dan Isya hampir pasti ia ada di masjid. Ia membuka lapak dadunya dari jam tujuh malam hingga jam satu atau dua tengah malam. Seminggu ia membuka lapak, pengunjungnya tak sedikit, seratus mungkin lebih. Penolakan melangit tapi peserta kuncang dadu pun makin tak sedikit. Ditambah si penguncang dadu juga telah mewakafkan seratus juta lebih untuk pengembangan bangunan masjid di dusun kami.

Sejak saat itulah dusun terbelah, antara yang menganggap penguncang dadu adalah berkah dan yang menganggap penguncang dadu adalah musibah. Persekutuan di dusun berubah bukan lagi Melayu atau Jawa, tapi pendukung dan penolak penguncang dadu di halaman masjid. Mas Wanas, itulah nama si penguncang dadu, sejak saat itu namanya meroket. Dibenci sekaligus dipuji, dicaci tapi juga disembah. Masjid menjadi makmur, uang jutaan mengalir tiap pekan ke rumah tuhan. Dusun menjadi semarak, warung-warung tiba-tiba melonjak omsetnya. Bisnis kaki lima pun tumbuh subur. Mas Wanas telah merubah wajah dusun kami. Orang-orang dari tempat-tempat nan jauh berdatangan. Polisi dari kecamatan bahkan dari propinsi juga lalu lalang, bukan untuk menciduk Was Wanas, sang juragan, tetapi mengincar uang setoran. Tak sedikit jumlahnya, dua juta semalam. Jumlah yang tak seberapa, jika dibanding omset Mas Wenas yang puluhan juta. 

Rumah-rumah disulap jadi wisma, menampung para pejudi yang datang dari berbagai dusun. Jarang sekali kamar-kamar kosong, apalagi di akhir pekan. Pelan tapi pasti dusun kami menjadi bergairah, begitu hidup dan penuh keceriaan. Satu persatu penentang penguncang dadu di halaman masjid berubah haluan. Menjadi pendukung Mas Wanas yang dermawan.

Atas nama kemajuan dusun, Mas Wanas telah menjadi idola. Patungnya telah didirikan di ujung jalan dusun. Karena besarnya sumbangan yang dikeluarkan Mas Wenas untuk masjid, warga lebih mengenal masjid itu dengan nama Masjid Mas Wanas. Halaman masjid yang biasanya sepi, paling-paling diisi satu dua sepeda, kini telah benar-benar berubah, ramai, berwarna dan penuh hiruk pikuk. Warung-warung, tempat pijat, penitipan motor, bahkan ada penjual kaos khas dusun kami. Ekonomi dusun bergerak, tak melulu tentang kebun karet lagi.

Hanya satu orang saja yang masih dengan kokoh dan tiada henti melawan kehadiran lapak-lapak dadu di halaman masjid, Mang Karni, ya Mang Karni namanya. Tak henti ia mengingatkan siapa saja akan bahaya yang mengancam dusun. Ia telah menjadi semacam pengkhotbah anti Mas Wanas. Tapi apa daya tak satupun lagi warga dusun yang memedulikannya. Kemajuan dan kebaikan yang dibawa Mas Wanas dan lapak dadu di halaman masjid telah membubungkan harapan warga. Mang Karni pun ditinggal warga, hanya dianggap lelaki tua yang nyaris gila.
***
Bodoh sekali, sepuluh juta kau tolak, sepuluh juta,” teriak Bik Warsi, istri Mang Karni suatu petang. Mang Karni tak bergeming, matanya tetap pasat menatap buku yang ia pegang. Bik Warsi geram.

Kau tahu pak, getah karet tak ada harga lagi, uang sebanyak itu malah kau tolak,” tak berkurang geram Bik Warsi. Mang Karni masih sibuk dengan buku yang ia baca, ada semacam ketenangan yang luar biasa di wajah tua Mang Karni. Sementara itu angin berhembus menyentak pintu kayu rumah panggung Mang Karni. Berdiri Mang Karni membenarkan posisi pengganjal pintu. Ia hanya melirik Bik Warsi yang tengah khusyuk dengan sirih dan pinang di tangan.

Kalau aku bicara, manalah kau peduli. Ingat pak, sudah tiga lebaran tak ada satupun tetangga yang bertandang ke rumah kita. Apa bapak ngga malu ? Sedusun ini membenci bapak,” suara Bik Warsi seolah menderu diterjang suara angin yang bergemuruh. Mang Karni membenarkan posisi duduknya, tapi mulutnya masih mengatup rapat. Hanya matanya yang tajam memasati buku.

Bukan sekali dua pesuruh Mas Wanas berusaha mengantar uang yang tak sedikit ke Mang karni, tapi tak sekalipun uang itu ia terima. Berbagai cara digunakan Mas Wanas, tapi Mang Karni tetap menolaknya. Mulai dari angka sejuta hingga sepuluh juta pernah dikirim ke rumah tua Mang Karni yang hidup bersama istrinya.
Karena terlalu kesal pesuruh Mas Wanas pernah pula mengancam akan membunuh Mang Karni, ia hanya menjawab singkat “Bunuhlah…”
 
Rayuan dan ancaman telah menjadi semacam menu rutin bagi Mang Karni lima tahun terakhir. Kebencian warga dusun pun makin menjadi, bukan sekali dua  rumah Mang karni hampir dibakar warga. Kepala desa, pak RT, kyai dusun bahkan Pak Camat pernah menasehati Mang Karni untuk menerima kenyataan bahwa dusun sudah berubah dan Mas Wanaslah yang memajukan dusun, pantas kalau didukung. Mang Karni selalu menjawab “Ada masanya kita semua akan melihat kehancuran dusun ini,” selalu itu kalimat yang diulang Mang Karni tiap petinggi dan orang penting datang ke rumahnya yang berdiri menghadap sungai Batanghari dan membelakangi jalan dusun. Rumah yang ganjil, karena semua rumah menghadap ke jalan.
Sungai adalah masa lalu, jalan besar beraspal adalah hari ini, begitu kata orang-orang dusun ketika mengubah muka rumah mereka yang dulu menghadap ke batanghari. Tidak bagi Mang Karni, tak terbersit dalam pikirannya membalik muka rumah. 

Aku bisa jadi satu-satunya orang dusun yang masih berbincang dengan Mang Karni, seusai menamatkan sekolah menengah di kota, aku pulang ke dusun. Bisa jadi akulah manusia terakhir di dusun ini yang masih mendengarkan khotbah Mang Karni tentang bahaya lapak dadu di halaman masjid. Kami sesekali bertemu sembari memasang serua di anak-anak sungai Batanghari atau mancing bersama.

Muslan, apa kau pernah berpikir, lapak dadu di halaman masjid dusun kita itu sama artinya kita mengencingi rumah tuhan,” suara lembut Mang Karni membuyarkan konsentrasi memancingku. Kami berdua dalam sebuah perahu di sebuah petang yang tenang. Ikan baung yang kami incar.

Tapi herannya kita semua dibutakan oleh uang yang diserak-serakkan oleh si Wanas itu. Hitam menjadi putih, gelap menjadi terang,” kalimat berikut dari Mang karni meluncur, seolah tak lagi menunggu reaksiku. Kulempar pancing agak ke tengah, aku hanya menganggukkan kepala tanda persetujuan pada kalimat Mang karni.

Kau lihat mana ada lagi anak-anak muda mau mencari ikan, kebun-kebun karet dijual untuk modal berjudi, perempuan-perempuan sudah lupa diri karena sibuk menemani laki-laki di halaman masjid,” kalimat-kalimat Mang Karni itu sebenarnya sudah berulang kali aku dengar. Tapi aku tak berniat mematahkannya, kubiarkan ia bicara. Meski aku tak terlalu fokus mendengarkan Mang Karni. Ikan yang menarik-narik pancingku jauh lebih kupedulikan dari kalimat Mang Karni.

Terus kita harus bagaimana, mang ?” responku sekenanya.
Ah, seharusnya kau yang muda Muslan, yang memikirkan caranya. Aku ini sudah tua, entah esok atau bulan depan aku sudah tiada,” kalimat itu mengejutkanku. Aku seolah diingatkan Mang Karni memang sudah tak muda, rambutnya sudah memutih, kerutan dan lekuk dalam di sekitar matanya menandakan panjang sudah perjalanan hidupnya. Apa yang terjadi jika ia benar-benar pergi, tak akan ada lagi yang melawan tirani Mas Wanas dan lapak-lapak dadunya. Entah mengapa tiba-tiba aku menjadi gelisah.

Sebuah tarikan keras menyentak senar pancingku, aku terkejut, kutarik keras pancingku. Sebuah ikan baung muncul di permukaan. Tak terlalu besar tapi cukuplah untuk menghibur kami berdua yang sudah dua jam berada di dalam perahu dan tanpa hasil.
***
Tujuh hari dari peristiwa mancing bersama Mang Karni, pikiranku masih bergoyang oleh kalimat Mang Karni tempo itu. Aku seperti tersentak menyadari bahwa ada saatnya Mang Karni akan menyerah dan berhenti melawan si penguncang dadu. Menyerah bukan oleh rayuan atau ancaman Mas Wanas tapi oleh maut. Apa jadinya dusun ini tanpa orang seperti Mang Karni, yang meski dibenci tapi tak berhenti melawan, meski dicaci ia tak lantas menyerah pada kenyataan. 

Daun-daun pohon rambutan yang rapuh lepas satu persatu dari ranting, angin mengusili ilalang yang tumbuh di tepian jalan. Pikiranku masih tertuju pada Mang Karni, antara prihatin dan bangga pada sosoknya. Tiba-tiba terbersit kehendak hati menemani perjuangan Mang Karni, membukakan mata hati penguni dusun bahwa selama ini telah salah. 

Wanas hanyalah srigala berbulu domba, setan yang menyamar menjadi nabi, dan pendurhaka yang bermanis wajah. Tapi bagaimana ? Wanas telah menjadi legenda bahkan dianggap orang suci yang harus dibela. Ia sholat berjamaah tiap waktu di masjid, uang infaqnya tak terbilang mengalir ke masjid dan para fakir. Setiap ornag kesusahan pasti ia bantu. Meski selalu berujung terjualnya kebun warga kepadanya. Entah berapa ribu hektar sudah kebun karetnya. 

Bagaimana bisa aku melawannya, sedangkan untuk makan sehari-hari saja aku susah. Gaji sebagai guru bantu hanya cukup untuk untuk membeli susu anakku. Terlintas untuk berangkat ke kota dan melaporkan ini pada aparat negara disana. Tapi bagaimana bisa, tiap malam saja banyak pejabat yang hilir mudik di halaman masjid. Bukan untuk sholat berjamaah tapi menanti mata dadu dikuncang. Belum lagi polisi yang rutin dengan setoran. Ah, tak akan ada gunanya. Rubuh satu rubuh semua, mana mungkin mereka mau melakukan itu.
Kutelisik catatan-catatanku saat di kota dulu, berusaha mencari solusi dari lembar-lembar kertas tua yang mulai rapuh itu. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di kepalaku. Gairah untuk melawan tiba-tiba muncul, seperti hujan yang mendera kemarau panjang, hatiku tiba-tiba mekar dan meyakini ada sebuah sinar di tengah gelapnya malam.

Langsung kuambil sepeda tuaku dan kugegas, rumah Mang Karni, ya dia orang pertama yang harus tahu rencanaku ini, pikirku. Jalanan mulus dusun kami yang dibangun dengan sumbangan dari Mas Wanas membuat laju sepedaku makin cepat. Jarak dua kilo dari rumahku ke rumah Mang Karni menjadi tak jauh rasanya. Gairahku membuncah. Pasti Mang Karni akan bahagia mendengar rencanaku ini, pikirku.
Matahari mulai rebah di cakrawala, sandekala. Cahaya langit berpendar, merah kekuningan warnanya. Pikiranku mengangkasa, inilah saatnya mengakhiri kejayaan mata dadu di dusun kami. 

Rumah Mang Karni yang membelakangi jalan desa dan menghadap ke Batanghari mulai nampak, kusandarkan sepeda di anak tangga rumah panggung yang mulai rapuh dimakan waktu. Tak nampak Mang Karni dan istrinya yang biasa duduk di teras depan rumah yang menghadap ke Batanghari, dua pasang sandal nampak di depan pintu. 

Pintu rumah terbuka lebar, tiga orang duduk bersila di tengah rumah. Aku mengenal wajah ketiga orang itu, Bik Warsi istri Mang Karni, Pak ustadz dan Pak Ledi, guru sekolah temanku. Terpukul mundur rasanya, tatkala kulihat sesosok tubuh yang terbaring di hadapan mereka bertiga. Sebuah kain panjang bermotif bunga-bunga berwarna jingga menutupi tubuh itu. Aku tahu siapa dibalik kain panjang itu. Kubalikkan badan, persis saat Bik Warsi memanggil namaku. 

Kugapai sepedaku dan kupacu laju di jalan dusun. Pikiranku bergemuruh, air mataku pun luruh. Aku terlambat pikirku, kemana saja aku selama ini. Di hadapan sebuah rumah megah dengan pilar-pilar besar aku berhenti, segerombolan orang yang ada di depan rumah itu menatapiku pasat. Mas Wanas tampak diantara mereka, suara musik yang membahana keluar dari speaker besar yang dipasang di bawah  pohon jambu. Sebuah pesta baru saja dimulai di rumah pahlawan desa itu.






















Ilustrasi by : Huzer Apriansyah

Sabtu, 16 Februari 2013

Lelaki Berkepala Karang

doc @huzer


Kau masih sama saja, bersemangat, liar dan manja. Tak banyak yang berubah, kata-katamu masih terhunus dan selalu ketus. Sepuluh tahun lalu kau berteriak tentang negeri yang timpang, dunia yang bimbang dan rakyat yang meradang. Hari ini, usai perjalanan nan panjang ini, kau masih dengan suara sumbang bergelombang. 

Bukan aku tak peduli pada perjuanganmu, tapi aku ini gadis yang menunggumu. Bukan dua tiga tahun, tapi sepuluh tahun sudah. Aku ini bukan meja kayu nan rapuh di kamarmu, yang setia menanti dan menemani. Apa kata orang-orang di kampungku, perawan tua lah aku ini. Ah, kalau kalimat ini kumuculkan. Kupastikan tujuh kalimat sakti mu akan keluar;

“Perempuan itu punya kuasa atas tubuhnya. Konstruksi cultural dan sosial yang patriarkislah yang membuat ada istilah perawan tua. Jangan pula kau tunduk pada sterotype yang tiran itu. Konstruksi berpikir kita harus diubah, jangan menyerah pada penindasan macam itu.Perempuan itu punya tahta atas hidupnya. Bukan digoyang-goyang dengan segala macam mitos. Tunggulah waktunya..” Sampai kuhafal di luar kepala tujuh kalimat ampuh itu.

Gagah sungguh kau di garda depan demonstrasi, tapi coba soal pertunangan, kau membujur basi. Ingin rasanya aku berpura-pura hamil, agar kau mau mengambil sebuah langkah berani.Tapi, jujur aku orawani. Sepuluh tahun itu bukan waktu yang singkat, kekasihku.Terbersit lelah hati, kadang ingin berhenti aku mencintaimu.Tapi, entah mengapa tiap kali menatap wajah tirusmu yang tak terurus, niat ku langsung menguap tiada sebab. Kau terlalu lugu, kekasihku. Atau kau terlalu naïf. Atau mungkin kau terlalu jujur, kekasihku.

Apakah kau tak melihat kawan-kawan lamamu itu. Mereka muncul di layar-layar teve, tak sedikit yang berumah mewah dan terpandang pula. Mereka ada di Senayan, mereka ada bersama kekuasaan. Hidup mereka berubah, sayangku. Sedang kau ? Tak banyak yang berubah. Kadang aku menangis melihatmu masih setia dengan motor bututmu yang bisa ngadat dimana tempat. Hatikupilu, saat tempatmu bekerja hanya mampu memberimu seratus dua tiap bulannya. Aku tahu bukan kau tak berusaha, tapi kau tak pernah mau mengalah. Mungkin saja kalau kau bertahan lama di lembaga asing itu, kini kau sudah punya mobil mewah. Tapi, kau justru memilih jadi pedagang roti. Pegal hatiaku menemanimu. Apa sih maumu ?

Kadang aku membencimu, tapi di saat yang sama aku semakin mencintaimu. Kau bukan sosok yang romantic tapi hadirmu serasa sangat puitis. Kau bukan pujangga tapi senyummu membuat ku terjaga. Sepanjang umurku, baru pada mu saja kulihat orang berkepalak arang. Hidupmu tak pernah tenang, bahkan kau meracau dalam tidur. Mengapa kau pilih jalan ini, sayangku ? Bukankah bisa kita buat sederhana saja. Menikah, punya keluarga dan hidup nyaman di rumah mungil kita ? Kau bilang, itu terlalu biasa. Semua orang juga begitu. Jangan-jangan kau hanya lelaki egois yang bengis ?Takut menghadapi realitas, lalu sekedar berputar-putar tanpa batas. Pernahku sebut kau pengecut. Muka mu memerah dan kau menangis. Serasa kau sudutkan aku dengan tangis mu itu, tak pernah lagi kuulang kata-kata jalang itu.

Di awal kisah kita dulu, aku yakin suatu saaat kau akan berubah. Layaknya orang-orang kebanyakan, pelan tapi pasti idealism mu akan menepi seiring waktu. Mimpi-mimpi mu akan terserak pelan seiring kebutuhan. Tenanglah aku ketika itu.Tapi apa lacur, kau tak berubah juga. Sama, benar-benar sama. Kepala karang bisalah kubilang. Entah mengapa, aku tak bisa berhenti memujamu walau kepala mu karang. Tak bisa pula berhenti mengkhawatirkan mu walau keras hatimu. Kukira kau ini hanya keracunan virus Ahmad Wahib atau Gie itu saja. Mahluk yang paling bahagia adalah yang tak pernah dilahirkan kedunia, selanjutnya mereka yang dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah mereka yang mati tua.

Kupikir kau itu pemimpi yang romantic bukan kekasih yang romantis jadilah kau tak lagi realistis. Kau selalu bicara soal teori kritis si Habermas itu, tapi kau lupa banyak pengikut Habermas yang yang terjebak menjadi nihilis. Apa kau mau seperti mereka ? Kau bilang all of human kind is a traveller. Apakah kau mau menjadi pengembara seumur hidupmu, tanpa pernah berlabuh di teduhnya dermaga ?
***
Kekasihku, kini aku hanya bisa berdoa semoga kau baik-baik saja. Semoga akan selalu ada yang merawatmu. Maafkanaku yang harus takluk di tangan tirani patriarki, maafkan aku yang tak berani menantang zaman  sepertimu.Maafkan aku yang menyerah untuk bersamamu. Esok, pernikahanku kuharap kau tak hadir. Bukan apa-apa, tapi aku tak akan pernah mampu menatap wajah tirusmu yang tak terurus itu. Matamu terlalu tajam untuk hatiku yang rapuh ini. Syair “Hatiku Selembar Daun” yang kau jadikan mantra penjinak hatiku dulu, akan tetap menjadi mantra hatiku jika aku rindu.

Teruslah berlayar…oh captain my captain !

* “Hatiku selembar daun” puisi karya Sapardi Djoko Damono

Proudly Support by :